BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMURNIAN
ISLAM DI ARAB SAUDI
Saudi
Arabia terletak di sebelah barat daya benua Asia, mencakup bagian terbesar di
bagian semenanjung Arab, dan luasnya mencapai kira-kira 2.250.000 km2.
Sejarah jazirah Arab masa terdahulu tidak di kenal secara terperinci. Tidak ada
satu wilayah pun yang memiliki kedudukan khusus dan sejarah istimewa, kecuali
setelah munculnya Islam di Mekkah Al-Mukarramah. Raja-raja Islam secara
bergantian telah menguasai jazirah.[1]
Risalah Islam dilanjutkan oleh Nabi Muhammad saw. di
Jazirah Arab pada abad ke-7 ketika Nabi Muhammad s.a.w. mendapat wahyu dari
Allah swt. Setelah wafatnya nabi Muhammad s.a.w. kerajaan Islam berkembang
hingga Samudra Atlantik di barat dan Asia Tengah di Timur. Hingga umat Islam
berpecah dan terdapat banyak kerajaan-kerajaan Islam lain yang muncul.
Namun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti
kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman,
Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan yang
besar di dunia. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya
muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Karena banyak
kerajaan Islam yang menjadikan dirinya sekolah.
Pada abad ke-18 dan ke-19, banyak kawasan-kawasan Islam
jatuh ke tangan Eropa. Setelah Perang Dunia I, Kerajaan Turki Utsmani yang
merupakan kerajaan Islam terakhir tumbang.
Setelah
kerajaan Islam jatuh, maka bangkit kembali yang di namakan dengan pembaharuan
Islam. Harun Nasution cendrung
menganalogikan istilah “pembaharuan” dengan “modernisme”, karena istilah
terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan,
dan usaha mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi lama, dan sebagainya
untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan
menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan
dengan ilmu pengetahuna modern. Aliran ini akhirnya membawa kepada timbulnya
sekularisme di masyarakat Barat.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern memesuki dunia Islam, terutama sesudah
pembukaan abad ke-19 M, yang dalam Islam di pandang sebagai permulaan periode
modern. Kontak dengan Dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia
Islam seperti rasionalisme, nesionalisme, demikrasi dan sebagainya. Semua ini
menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai
memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.
Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul
pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang di timbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modrn itu. Dengan jalan demikian pemimpi-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat islam dari suasana
kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajauan.[2]
1.
Tokoh pembaharuan islam di Arab Saudi
a.
Muhammad Bin Abdul Wahab ( 1703-1787 )
Beliau dilahirkan di Uyainah, sebuah dusun di
Najed bagian Timur Saudi Arabia. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga
beragama yang ketat di bawah pengaruh mazhab Hanbali, yaitu mazhab yang
memperkenalkan dirinya sebagai aliran Salafiyah.pemikiran yang di cetuskan
Muhammad Abd al- Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat islam timbul bukan
sebagai reaksi terhadap suasana polotik seperti yang terdapat di kerajaan
Usmani dan kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang
terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu.
Sebelum 1737 M,
yaitu tahun kedatangan Muhammad Abd al-Wahab, keadaan kehidupan di Jazirah Arab
sebagai berikut:
a.
Keluarga
Muhammad ibnu Su’ud bukan merupakan satu keluarga terbesar di Najd.
b.
Wilayah
kekuasaaan di jazirah Arab lebih merupakan sebagai serpihan-serpihan kesukuan
Najdiyah.
c.
Jazirah
Arab terbagi kepada beberapa wilayah keamiran yang kekuatannya tergantung pada
pribadi amir dan interesnya masing-masing.
d.
Amir-amir
yang lebih tampak kekuasaannya adalah amir Hijaz, Banu Khalid di Al-Ahsa,
Ma’mar di Al-Uyainah, Sa’dun di Irak, secara politis mereka saling
bertentangan.
e.
Keadaan
kehidupan social keagamaan ketika itu penuh dengan penyimpangan yang sangat
berat.kemusyrikan dan kesesatan merajalela, cahaya hidayah dari jiwa mereka
telah pedam karena kebodohan, kitab Allah di simpan di punggung mereka, para
salihin yang masih hidup serta kuburannya yang telah meningal, mereka datangi
untuk mengadakan kebaktian, meminta pertolongan dan syafaat dari berbagai
kebutuhan dan jalan keluar dari kesulitan.[3]
Sebagaimana di lihat oleh Muhammad Abd
al-Wahab, kemurnian tauhid di rusak bukan hanya oleh pemujaan pada syekh dan
wali, tetapi paham animisme masih mempengaruhi keyakinan umat Islam.
Keyakinan seperni ini, menurut paham
Muhammad Abd al-Wahab telah merupakan syirik atau politeisme,dan syirik adalah
dosa besar dalam Islam. Muhammad Bin Abdul Wahab menamakan gerakannya, “Gerakan
Muwahidin yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk mensucikan dan meng-Esakan
Allah dengan semurni-murninya yang mudah, gampang dipahami, dan diamalkan
persis seperti Islam pada masa permulaan sejarahnya. Gerakan yang dipimpin
Muhammad bin Abdul Wahab ini dinamakan“GerakanWahabi”. Hal-hal
yang ditekankan oleh gerakan ini adalah:
§ Penyembahan kepada
selain Allah adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
§ Orang yang mencari
ampunan Allah dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan
musyrikin.
§ Termasuk perbuatan
musyrik memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-nabi atau wali
atau Malaikat.
§ Meminta syafaat selain
kepada Allah adalah syirik.
§ Memperoleh pengetahuan
selain dari Al-Quran, Hadis dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran.
§ Tidak percaya pada qadha
dan qadhar Allah juga merupakan kekufuran.
§ Demikian pula
menafsirkan Al-Quran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur.
Untuk melepaskan umat Islam dari kesesatan, mak Muhammad Abd
al-Wahab berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada Islam yang asli,
yaitu Islam sebagaimana yang di anut dan di praktekkan di zaman Nabi, sahabat
serta tabi’in, yaitu sampai abad ke-33 Hijriah. Muhamma Abd al-Wahab bukanlah hanya
seorang teoris, tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan
pemikirannya. Ia mendapat sokongan dari Muhammad bin Su’ud dan putranya Abd
al-Aziz di Nejd. Bersama dengan Ibnu Su’ud, pendiri Dinasti Su’udiyah (Saudi
Arabia) berjuang dengan sikap pantang menyerah. Paham-paham Muhammad Abd
al-Wahab mulai tersiar dan golongannya bertambah kuat, sampai di tahu 1773
mereka menduduki kota Riyadh. Di tahun 1787 Muhammad Abd al-Wahab meninggal
dunia, tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal
dengan nama Wahabiah.
Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh mencemaskan bagi Kerajaan
Usmani di Istambul. Sultan Mahmud II member perintah kepada Khedewi Muhammad
Ali di Mesir supaya mematahkan gerakan Wahabiah itu. Ekspedisi yang di kirim
dari Mesir dapat membebaskan kota Madinah dan Mekkah di tahun 1813. Kedua kota
ini jatuh ke bawah kekuasaan Wahabiah di tahun 1804 dan 1806. Tetapi di
permulaan abad ke-20 M gerakan Waahabiah bangkit kembali dan Raja Abd al-Aziz
dapat menduduki Mekkah di tahun 1924 dan setahu kemudian juga Madinah dan
Jeddah. Mulai dari waktu itu mazhab dan kekuatan politk Wahabiah mempunyai
kedudukan yang kuat di tanah Suci.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abd al-Waahab
yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19 M
adalah sebagai berikut:
1.
Hanya Al-Quran dan Hadis lah yang merupakan
sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulamatidak merupakan sumber.
2.
Taklid kepada ulama tidak di benarkan.
3.
Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.[4]
Ø Adapun
raja-raja yang telah memerintah di Arab Saudi terdiri dari:
v Abdul
Aziz (1901-1903 M)
v Faisal
ibnu Abdul Azizi (1903-1964 M )
v Khalid
ibnu Abdul Azizi (1964-1975 M )
v Fahd
Ibnu Abdul Aziz (1975-sekarang).[5]
2.
Pembangunan Wilayah
a. Pendidikan
Pada tahun 1969, jumlah
murid di sekolah-sekolah semakin meningkat, Ahmad Syalabi menyebutkan Kuwait
mendirikan sekolah-sekolah modern sampai menduduki peringkat terbesar di
lingkungan Emirat, sekolah tersebut juga menampung anak negeri dan disekitar
Negara tetangga.
b. System
peradilan, yaitu dengan menerapkan Undang-Undang Syari’at bagi hokum
perdatanya.
c. Keuangan,
mata uang yang di gunakan adalah dinar Kuwait.
d. Pertahanan.
e. Industri.
f. Perdagangan
g. Kesehatan.[6]
BAB III
Selanjutnya, pada awal mulanya, Peradaban Islam
yang berkembang di Arab berdiri di atas tatanan masyarakat kecil yang di bangun
berdasarkan ikatan keluarga, keturunan, kekerabatan dan ikatan etnis,
masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan
monotheistik dan imperium birokratis.
Perkembangan peradaban
masyarakat Islam tersebut, pada dasarnya menampilkan dua aspek yang
fundamental. Aspek pertama, merupakan oraganisasi masyarakat manusia yang
menjadi kelompok-kelompok kecil, dan tak jarang kelompok yang bercorakkan
kekeluargaan. Sedangkan aspek yang kedua adalah sebuah evolusi yang memiliki
kecenderungan pembentukan kesatuan kultur, agama dan wilayah kekuasaan dalam
sekala yang lebih besar.
Transformasi sosial dari
masyarakat Arab pra Islam sampai terbentuknya keunggulan peradaban dan dilanjutkan
dengan masa stagnasi terhadap pemikiran secara sistematis dapat kita
klasifikasikan dalam 3 fase. Fase pertama merupakan fase penciptaan komunitas
baru yang bercorakan Islam di Arab sebagai hasil dari tranformasi masyaraakat
pinggiran dengan sebuah masyarakat kekerabatan. Fase kedua merupakan penaklukan
bangsa Arab (komnunitas muslim) yang baru terbentuk yang pada akhirnya
mendorong terciptanya imperium dan kebudayaan Islam. Fase ketiga merupakan fase
post-imperium atau periode kesultanan yang mana pola dasar kultural dan
khalifah berubah menjadi pola-pola negara dan institusi Islam. Pada fase ketiga
ini, Islam berubah menjadi agama dan basis organisasi komunal dari masyarakat
Timur Tengah.
Sejarah perkembangan Islam, termasuk di dalamnya
norma, doktrin, dan peradaban masyarakatnya, sesungguhnya tidak berkembang
secara “mandiri”, linier dan normative, melainkan berliku dan tidak lepas dari
kondisi social politik yang mengintarinya. Karena itu, pembacaan kita terhadap
Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks ini, meski tampaknya berisi doktrin,
ajaran atau lainnya yang bersifat normatif. Tulisan singkat ini akan
mendiskusikan realitas dinamika perkembangan Islam yang tidak lepas dari
konteks tersebut.
Ahmad Syalabi, 1977, Musuah Tarikh al-Islam wa al- Hadlarah al-Islamiyah, Maktabah Nahdhlah, Kairo
Ajid Thihir, 2004, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja
Grafido Persada, Jakarta.
Dedi Supriyadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka
Setia, Bandung.
Harun Nasution, 2003, Pembaharuan dalam Islam,
Bulan Bintang, Jakarta.
[1]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung :
Pustaka Setia, 2008), hlm 276
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang , 2003), hlm 3-4.
[3]
Ajid Thihir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam, ( Jakarta : Raja Grafido Persada, 2004), hlm 232.
[4]
Harun Nasution,pembaharuan …, hlm15-18.
[5] Ahmad Syalabi, Musuah Tarikh al-Islam wa al- Hadlarah
al-Islamiyah, (Kairo : Maktabah Nahdhlah,1977), Juz VII, hlm 178
[6]
Mustafa Mu’min, Qasamat al-Alam
al-Islami, ( Beirut : Dar al-Fth, 1974), hlm 195-196.
DAMS
ALASKA
No comments:
Post a Comment