Wednesday, February 18, 2015

PEMURNIAN ISLAM DI ARAB SAUDI

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PEMURNIAN ISLAM DI ARAB SAUDI

Saudi Arabia terletak di sebelah barat daya benua Asia, mencakup bagian terbesar di bagian semenanjung Arab, dan luasnya mencapai kira-kira 2.250.000 km2. Sejarah jazirah Arab masa terdahulu tidak di kenal secara terperinci. Tidak ada satu wilayah pun yang memiliki kedudukan khusus dan sejarah istimewa, kecuali setelah munculnya Islam di Mekkah Al-Mukarramah. Raja-raja Islam secara bergantian telah menguasai jazirah.[1]
Risalah Islam dilanjutkan oleh Nabi Muhammad saw. di Jazirah Arab pada abad ke-7 ketika Nabi Muhammad s.a.w. mendapat wahyu dari Allah swt. Setelah wafatnya nabi Muhammad s.a.w. kerajaan Islam berkembang hingga Samudra Atlantik di barat dan Asia Tengah di Timur. Hingga umat Islam berpecah dan terdapat banyak kerajaan-kerajaan Islam lain yang muncul.
Namun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan yang besar di dunia. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Karena banyak kerajaan Islam yang menjadikan dirinya sekolah. Pada abad ke-18 dan ke-19, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke tangan Eropa. Setelah Perang Dunia I, Kerajaan Turki Utsmani yang merupakan kerajaan Islam terakhir tumbang.
Setelah kerajaan Islam jatuh, maka bangkit kembali yang di namakan dengan pembaharuan Islam. Harun Nasution cendrung menganalogikan istilah “pembaharuan” dengan “modernisme”, karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuna modern. Aliran ini akhirnya membawa kepada timbulnya sekularisme di masyarakat Barat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memesuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke-19 M, yang dalam Islam di pandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan Dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nesionalisme, demikrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.
Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang di timbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modrn itu. Dengan jalan demikian pemimpi-pemimpin            Islam modern mengharap akan  dapat melepaskan umat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajauan.[2]

1.         Tokoh pembaharuan islam di  Arab Saudi
a.       Muhammad Bin Abdul Wahab ( 1703-1787 )
Beliau dilahirkan di Uyainah, sebuah dusun di Najed bagian Timur Saudi Arabia. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama yang ketat di bawah pengaruh mazhab Hanbali, yaitu mazhab yang memperkenalkan dirinya sebagai aliran Salafiyah.pemikiran yang di cetuskan Muhammad Abd al- Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana polotik seperti yang terdapat di kerajaan Usmani dan kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu.
Sebelum 1737 M, yaitu tahun kedatangan Muhammad Abd al-Wahab, keadaan kehidupan di Jazirah Arab sebagai berikut:
a.       Keluarga Muhammad ibnu Su’ud bukan merupakan satu keluarga terbesar di Najd.
b.      Wilayah kekuasaaan di jazirah Arab lebih merupakan sebagai serpihan-serpihan kesukuan Najdiyah.
c.       Jazirah Arab terbagi kepada beberapa wilayah keamiran yang kekuatannya tergantung pada pribadi amir dan interesnya masing-masing.
d.      Amir-amir yang lebih tampak kekuasaannya adalah amir Hijaz, Banu Khalid di Al-Ahsa, Ma’mar di Al-Uyainah, Sa’dun di Irak, secara politis mereka saling bertentangan.
e.       Keadaan kehidupan social keagamaan ketika itu penuh dengan penyimpangan yang sangat berat.kemusyrikan dan kesesatan merajalela, cahaya hidayah dari jiwa mereka telah pedam karena kebodohan, kitab Allah di simpan di punggung mereka, para salihin yang masih hidup serta kuburannya yang telah meningal, mereka datangi untuk mengadakan kebaktian, meminta pertolongan dan syafaat dari berbagai kebutuhan dan jalan keluar dari kesulitan.[3]
 Sebagaimana di lihat oleh Muhammad Abd al-Wahab, kemurnian tauhid di rusak bukan hanya oleh pemujaan pada syekh dan wali, tetapi paham animisme masih mempengaruhi keyakinan umat Islam. Keyakinan  seperni ini, menurut paham Muhammad Abd al-Wahab telah merupakan syirik atau politeisme,dan syirik adalah dosa besar dalam Islam. Muhammad Bin Abdul Wahab menamakan gerakannya, “Gerakan Muwahidin yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk mensucikan dan meng-Esakan Allah dengan semurni-murninya yang mudah, gampang dipahami, dan diamalkan persis seperti Islam pada masa permulaan sejarahnya. Gerakan yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab ini dinamakan“GerakanWahabi”. Hal-hal yang ditekankan oleh gerakan ini adalah:
§  Penyembahan kepada selain Allah adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
§  Orang yang mencari ampunan Allah dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan musyrikin.
§  Termasuk perbuatan musyrik memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-nabi atau wali atau Malaikat.
§  Meminta syafaat selain kepada Allah adalah syirik.
§  Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Quran, Hadis dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran.
§  Tidak percaya pada qadha dan qadhar Allah juga merupakan kekufuran.
§  Demikian pula menafsirkan Al-Quran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur.

Untuk melepaskan umat Islam dari kesesatan, mak Muhammad Abd al-Wahab berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada Islam yang asli, yaitu Islam sebagaimana yang di anut dan di praktekkan di zaman Nabi, sahabat serta tabi’in, yaitu sampai abad ke-33 Hijriah. Muhamma Abd al-Wahab bukanlah hanya seorang teoris, tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat sokongan dari Muhammad bin Su’ud dan putranya Abd al-Aziz di Nejd. Bersama dengan Ibnu Su’ud, pendiri Dinasti Su’udiyah (Saudi Arabia) berjuang dengan sikap pantang menyerah. Paham-paham Muhammad Abd al-Wahab mulai tersiar dan golongannya bertambah kuat, sampai di tahu 1773 mereka menduduki kota Riyadh. Di tahun 1787 Muhammad Abd al-Wahab meninggal dunia, tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.
Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh mencemaskan bagi Kerajaan Usmani di Istambul. Sultan Mahmud II member perintah kepada Khedewi Muhammad Ali di Mesir supaya mematahkan gerakan Wahabiah itu. Ekspedisi yang di kirim dari Mesir dapat membebaskan kota Madinah dan Mekkah di tahun 1813. Kedua kota ini jatuh ke bawah kekuasaan Wahabiah di tahun 1804 dan 1806. Tetapi di permulaan abad ke-20 M gerakan Waahabiah bangkit kembali dan Raja Abd al-Aziz dapat menduduki Mekkah di tahun 1924 dan setahu kemudian juga Madinah dan Jeddah. Mulai dari waktu itu mazhab dan kekuatan politk Wahabiah mempunyai kedudukan yang kuat di tanah Suci.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abd al-Waahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19 M adalah sebagai berikut:
1.      Hanya Al-Quran dan Hadis lah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulamatidak merupakan sumber.
2.      Taklid kepada ulama tidak di benarkan.
3.      Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.[4]
Ø  Adapun raja-raja yang telah memerintah di Arab Saudi terdiri dari:
v  Abdul Aziz (1901-1903 M)
v  Faisal ibnu Abdul Azizi (1903-1964 M )
v  Khalid ibnu Abdul Azizi (1964-1975 M )
v  Fahd Ibnu Abdul Aziz (1975-sekarang).[5]

2.         Pembangunan Wilayah
a.       Pendidikan
Pada tahun 1969, jumlah murid di sekolah-sekolah semakin meningkat, Ahmad Syalabi menyebutkan Kuwait mendirikan sekolah-sekolah modern sampai menduduki peringkat terbesar di lingkungan Emirat, sekolah tersebut juga menampung anak negeri dan disekitar Negara tetangga.
b.      System peradilan, yaitu dengan menerapkan Undang-Undang Syari’at bagi hokum perdatanya.
c.       Keuangan, mata uang yang di gunakan adalah dinar Kuwait.
d.      Pertahanan.
e.       Industri.
f.       Perdagangan
g.      Kesehatan.[6]


BAB III
Selanjutnya, pada awal mulanya, Peradaban Islam yang berkembang di Arab berdiri di atas tatanan masyarakat kecil yang di bangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan, kekerabatan dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistik dan imperium birokratis.
Perkembangan peradaban masyarakat Islam tersebut, pada dasarnya menampilkan dua aspek yang fundamental. Aspek pertama, merupakan oraganisasi masyarakat manusia yang menjadi kelompok-kelompok kecil, dan tak jarang kelompok yang bercorakkan kekeluargaan. Sedangkan aspek yang kedua adalah sebuah evolusi yang memiliki kecenderungan pembentukan kesatuan kultur, agama dan wilayah kekuasaan dalam sekala yang lebih besar.
Transformasi sosial dari masyarakat Arab pra Islam sampai terbentuknya keunggulan peradaban dan dilanjutkan dengan masa stagnasi terhadap pemikiran secara sistematis dapat kita klasifikasikan dalam 3 fase. Fase pertama merupakan fase penciptaan komunitas baru yang bercorakan Islam di Arab sebagai hasil dari tranformasi masyaraakat pinggiran dengan sebuah masyarakat kekerabatan. Fase kedua merupakan penaklukan bangsa Arab (komnunitas muslim) yang baru terbentuk yang pada akhirnya mendorong terciptanya imperium dan kebudayaan Islam. Fase ketiga merupakan fase post-imperium atau periode kesultanan yang mana pola dasar kultural dan khalifah berubah menjadi pola-pola negara dan institusi Islam. Pada fase ketiga ini, Islam berubah menjadi agama dan basis organisasi komunal dari masyarakat Timur Tengah.
Sejarah perkembangan Islam, termasuk di dalamnya norma, doktrin, dan peradaban masyarakatnya, sesungguhnya tidak berkembang secara “mandiri”, linier dan normative, melainkan berliku dan tidak lepas dari kondisi social politik yang mengintarinya. Karena itu, pembacaan kita terhadap Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks ini, meski tampaknya berisi doktrin, ajaran atau lainnya yang bersifat normatif. Tulisan singkat ini akan mendiskusikan realitas dinamika perkembangan Islam yang tidak lepas dari konteks tersebut.


Ahmad Syalabi, 1977, Musuah Tarikh al-Islam wa al- Hadlarah al-Islamiyah, Maktabah Nahdhlah, Kairo
 Ajid Thihir, 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafido Persada, Jakarta.
Dedi Supriyadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Harun Nasution, 2003, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.




[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm 276
[2]  Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang , 2003), hlm 3-4.
[3] Ajid Thihir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta : Raja Grafido Persada, 2004), hlm 232.
[4]  Harun Nasution,pembaharuan …, hlm15-18.
[5] Ahmad Syalabi, Musuah Tarikh al-Islam wa al- Hadlarah al-Islamiyah, (Kairo : Maktabah Nahdhlah,1977), Juz    VII, hlm 178
[6]  Mustafa Mu’min, Qasamat al-Alam al-Islami, ( Beirut : Dar al-Fth, 1974), hlm 195-196.

DAMS ALASKA 

No comments:

Post a Comment