Friday, February 20, 2015

MAKALAH KHULAFAURRASYIDIN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perundang-undangan pada zaman khulafaurrasyidin dibentuk dengan metode yang unik dan kaedah yang khas, yang sumbernya dari kitab Allah dan sunnah Rasul yang terdiri dari kaidah kulliyah (global) dan dasar-dasar  yang kokoh sehinggan bisa membuka peluang dan memudahkan para mujtahid untuk memunculkan masalah-masalah furu’iyah sesuai dengan aturan yang ada dapat dijalankan dengan baik , serasi untuk setiap waktu dan keadaan yang pada akhirnya memudahkan jalan bagi kaum muslimin untuk menghadapi semua problematika yang muncul, memberikan terapi, dan menjelaskan hukumnya.
Fase pembinaan dan penyempurnaan syari’at secara umumnya dihiasi dengan berbagai bentuk ijtihad, mengistinbath hukum dari nash. Jika tidak ada nash mereka menggunakan pendapat kolektif ketika ada kesempatan untuk bermusyawarah, atau kembali kepada  pendapat pribadi jika memang tidak bias.
Di dalam maklah ini akan dijelaskan pembentukan-pembentukan hukum pada masa khulafaurrasyidin setelah pembentukan hukum pada masa Rasulullah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembentukan hukum pada masa khulafaurrasyidin?
2.      Bagaimana perkembangan hukum pada masa khulafaurrasyidin?
3.      Apa sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pembentukan hukum pada masa khulafaurrasyidin.
2.      Untuk mengetahiu perkembangan hukum pada masa khulafaurrasyidin.
3.      Untuk mengetahui seba-sebab terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Sahabat
Sahabat menurut terminology ulama fiqh dan ushul fiqh adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah dalam status iman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan beriman pula.
2.      Kelebihan Para Sahabat Dalam Memahami Syari’at
            Para sahabat memiliki keistimewaan tersendiri dalam memahami syari’at Islam dibandingkan orang lain, disebabkan beberapa faktor berikut:
a.       Mereka sangat dekat dan bertemu langsung dengan Rasulullah sehungga memudahkan mereka untuk mengetahui asbabun nuzul ayat dan asbabul wurud hadits. Mereka juga mengetahui penafsiran Rasulullah tentang beberapa ayat selain juga mengetahui illat hukum dan hikmahnya yang hasilnya dapat memudahkan mereka untuk melakukan qiyas nash-nash yang ada kemiripan lalu menetapkan hukumnya.
b.      Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Quran sehingga memudahkan untuk memahami makna Al-Quran sebab diturunkan dalam bahasa Arab.
c.       Mereka menghafal Al-Quran dan Sunnah Rasul, mereka menjadi orang yang pertama mempelajari ilmu syariat dan hukumnya.

3.      Perbedaan dalam Memahami Syariat di Kalangan Sahabat
Perbedaan pendapat disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya sebagai berikut:
a.       Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa.
b.      Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah, sebab bergaul dengan rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbabun nuzul ayat dan asbabul wurud hadits.
c.       Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengistinbatkan hokum, dan kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash-nash syariat.
d.      Timbulnya perbedaan pandangan terhadap otoritas kepemimpinan umat Islam.

4.      Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah Rasulullah wafat untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara maslah yang muncul ada yang sudah disebutkan dalam nash dan ada yang belum disebutkan hukumnya. Oleh karena itu, para sahabat dituntut untuk mengeluarkan hukum dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi sehinggan hokum yang ditetapkan tidak kontradiktif.
Sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah
a.       Al-Quaran
b.      As-Sunnah
c.       Ijma’
d.      Logika (ra’yu)
Dalam aplikasinya, sumber-sumber hukum perundang-undangan ini dapat di urutkan dalam langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
b)      Meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah
c)      Ijma’, yaitu jika todak ada nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah atau ditemukannya namun bersifat global, atau nashnya banyak dan setiap naas memberikan hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan ketika itu khalifah mengundang para sahabat untuk melakukan ijma’. Jika mereka sepakat dan menyetujui suatu pendapat maka itulah yang akan mereka putuskan dan menjadi sebuah hokum yang pasti dan mengikat.
d)      Ra’yu (pendapat pribadi), yaitu setiap hokum yang ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk nash termasuk qiyas, istihsan, masalih mursalah, bara’ah adz-dzimmah, dan sad adz-dzari’ah.[1]

5.      Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa Khulafaur Rasyidin

a.       Akar masalah yang terjadi dalam pengambilan tasyri’
1.       Luasnya wilayah islam masa khulafaurrasyidin
Periode kekuasaan pemerintahan nabi Muhammad SAW hanya meliputi semenanjung Arabia tetapi periode khulafaur Rasyidin meliputi wilayah arab dan non arab sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam alquran dan alhadis terbatas jumlahnya. Oleh karena itu khulafaurrasyidin mengahadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, cara menetapkan hukum di pengadilan dan budaya hukum di Damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkand, Andalusia.
2.      Sahabat khawatir akan kehilangan Alquran karena banyaknya sahabat yang hafal alquran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
  1. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap alquran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
  2. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah SAW.
  3. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
  4. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat kerena islam petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Alquran
b.      Pendapat sahabat dalam pengistimbatan tasyri’
Pengistimbatan pada masa ini sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya sebagaimana ulama mutaakhirin. Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi, jika sesuatu itu terjadi mereka ijtihad untuk mengistimabtkan hukumnya. [2]
Mereka berpendapat bahwa:
1)      Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi adalah sia-sia, membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta menyia-nyiakan waktu yang berharga.
2)      Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain untuk berfatwa karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi perluasan fatwa terhadap kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya apabila ia apabila dimintai  fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, “biarkanlah sampai kasusnya terjadi.“
3)      Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang mengeluarkan fatwa dan ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum muslimin, baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang membuat mereka sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.
Para ulama shahabat mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran riwayat diantaranya;
  1. Para sahabat, termasuk sahabat Abu Bakar tidak menerima hadist  yang tidak disaksikan lebih dari satu orang.
  2. Para sahabat tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist berdasarkan perawi-perawinya.
  3. Para sahabat tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali bagi generasi seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.[3]
6.      Keputusan-keputusan yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur Rasyidin
1.      Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Khalifah Abu Bakar  adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan dikenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka yang memeluk agama Islam dan kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan kerena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang isalm dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifa pertama tepat sekali.

v  Tindakan-tindakan Penting yang Dilakukan Abu Bakar:
a.       Pidatonya pada waktu pelantikan yang berbunyi:
“Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara. Tetapi aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Kerena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar, ikutilah, dan bantulah aku. Tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah. Sebab menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat.” Selanjutnya beliau berkata, “Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”
Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dan warga negara.
b.      Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul di masyarakat.
Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu tuhan. Kalu dalam wakyu tuhan tidak ada, dicarinya dalam wahyu nabi. Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh pemecahan masalah, Abu bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkan dalam majelis. Mejelis ini melakukan ijtihad lalu timbullah konsesus bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu. Dalam masa abu bakar inilah apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat.
c.       Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Alquran yang telah ditulis pada zaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian dihimpun dalam satu naskah yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit yang merupakan sekretaris Nabi Muhammad.
d.      Berkenaan dengan bagian harta warisan seorang nenek, Abu Bakar tidak menemukan ketentuannya dalam Al-Quran, ia kemudian bertanya kepada sahabat. Mugirah seorang sahabat member tanggapan, ia berkata bahwa Nabi memebrikan seper enam harta bagi nenek.[4]

2.      Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi khalifah tahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas antara lain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria. Umar telah mengusir orang-orang Yahudi dan Jazirah Arab. Dan Umarlah yang pertama kali menyusun adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan perkantoran, serta kalender penanggalan.
Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ia berijtihad antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya yang kaya raya yang tidak memberikan gaji secara wajar. Maka umar menjalankan istislah, yang kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat tidak memberikan zakat kepada almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk memberikannya, maqashid yang terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak terdapat. Yang kemudian dianamai dengan al-ihtihsaan dan lain-lain.
v  Tindakan-tindakan Khalifah Umar
a.       Turut aktif menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak, danPersiaserta ke Mesir.
b.      Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal berdasarkan peredaran bulan (qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang didasarkan pada peredaran matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek. Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli hisab (hitung) pada waktu itu.
c.       Menetapkan kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah malam yang dilakukan sesudah shalat isya’, selama bulan Ramadlan dan dilakukannya secra berjamaah yang dipimpin oleh seorang imam. Umar berpendapat bahwa shalat tarawih berkamaah hukumnya sunat.
3.      Masa Pemerintahan Khalifah  Utsman bin Affan
Panitia pemilihan khalifah memilih Utsman menjadi khalifah ketiga menggantikan Umar bin khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun 644 sampai 655 M. Ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Ia seorang yang mempunyai kepribadian yang lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh  orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kekayaan dan kemewahan. Hal ini  dimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri dan golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini dalam bahas orang-orang sekarang disebut nepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara/ keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam pemerintahan.

v  Tindakan-tindakan  Khalifah Utsman
a.       Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits menyalin kembali naskah-naskah Alquran kedalam lima mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang ditulis, dan alquran itu sendiri juga disebut mushaf), kemudian dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Bagdad). Naskah itu disimpan di masjid besarnya masing-masing seperti umat Indonesia menyimpan Alquran pusakanya di masjid Baiturrahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Satu naskah disimpan di Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Hal itu terjadi pada tahun 30 H/ 650 M. Naskah mushaf Usmany adalah naskah yang dikirim pada masanya. Sebagai kenang-kenangan atas jasa-jasanya, Utsman disebut juga Al-imam. Mushaf Usmany di salin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita liat sekarang ini.
b.      Menyalin dan membuat Alquran standar yang disebut dengan kodifikasi Alquran. Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah Islam sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat alquran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapakan itu menimbulkan perbedaan arti.
c.       Umar berijtihad bahwa istri yang dicerai suaminya yang sedang sakit dan suaminya itu meninggal dunia, maka istri tersebut mendapat harta pusaka jika suaminya meninggal dalam masa tunggu (iddah), apabila suaminya meninggal setelam masa iddah, maka istri tersebut tidak mendapat harta warisan.
d.      Meluaskan daerah pemerintahan sampai ke baros, Maroko, India dan Konstantinopel.
4.      Ali bin Abi Thalib
Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 656 sampai tahun 662 M. Sejak kecil ia diasuh dan didik oleh Nabi Muhammad, oleh karena itu, hubungannya rapat sekali dengan Nabi.  Ali adalah keponakan dan menantu Nabi SAW, setelah ia menikah dengan putri Nabi, Fathimah Az-zahra. Ketika Nabi Muhammad masih hidup, Ali sering ditunjuk oleh Nabi menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan bahwa hubungan Nabi dengan Ali dapat dimisalkan seperti Nabi Musa dan Harun. Dan karena itu pula, orang berkata bahwa Ali telah mengambil suri teladan, ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan hati Nabi Muhammad Saw. Karena itu banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainnya. Yang berpendapat demikian terkenal dengan golongan syi’ah.
Diantara ijtihad Ali adalah tentang seorang yang menikah dengan seorang perempuan. Ketika ia bermaksud melakukan perjalanan tanpa membawa isterinya, keluarga istrinya mengancam bahwa pernikahan dengan isterinya talah berakhirr, istri itu belum memperoleh kiriman. Hal itu kemudian diadukan ke Ali, Ali berkata bertindaklah bijaksana sampai suaminya menyataka talak, Ali menolaknya, Ali bermaksu bahwa sumpah atau akad talak yang debarengi denga syarat tidak sah.[5]
Semasa pemerintahan Ali, tidak banyak yang diperbuat untuk mengembangkan hukum islam. Hal ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara dan timbulnya kelompok-kelompok besar umat islam sekarang ini, antara lain :
  1. Kelompok Ahlussunnah waljamaah (suni), yaitu kelompok atau jamaah yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad;
  2. Kelompok syiah yaitu pengikut Ali bin Abi Thalib.
Dasar perpecahan adalah perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa saja yang berhak menjadi khalifah, masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, system hukum dan kekeluargaan. Golongan syiah banyak terdapat di Lebanon, Irak, Pakistan, dan India. Bekas pengaruhnya terdapat di Indonesia, tepatnya di Tanjung Priok, di Pasar Koja.[6]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
·         Sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah
a.       Al-Quaran
b.      As-Sunnah
c.       Ijma’
d.      Logika (ra’yu)
·         Pengistimbatan pada masa khulafaurrasyidin sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya sebagaimana ulama mutaakhirin. Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi, jika sesuatu itu terjadi mereka ijtihad untuk mengistimabtkan hukumnya.
·         Perkembangan tasyrik pada masa khulafaurrasyidin itu disesuakan dengan masa kekhalifahannya, karena semakin berkembangnya zaman semakin benyak masalah baru yang ditimbulkan, sehingga khlalifah atau para mijtahid memerlukan untuk berijtihad memenumak jalan keluar dari sebuah masalah. Masing-masing khlalifah memiliki kebijakan sendiri dalam memnyelasaikan sebuah masalah yang muncul.




DAFTAR PUSTAKA

Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosda Karya, 2000.
Muhammad Zuhri, Terjemahan Tarikh Tasyrik Al-Islam, Semarang: Darul Ikhya, 1980.
Ra

syad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta: Amzah, 2011.
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001.
www.TARIKH TASYRI’ MASA KHULAFAUR RASYIDIN _ lailynurarifa site's.htm.





[1] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta: Amzah, 2011), hal 57-63.
[2] Muhammad Zuhri, Terjemahan Tarikh Tasyrik Al-Islam, (Semarang: Darul Ikhya, 1980), hal 256.
[3] www.TARIKH TASYRI’ MASA KHULAFAUR RASYIDIN _ lailynurarifa site's.htm.
[4] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Rosda Karya, 2000), hal 45.

[6]  Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hal 289.

MUSAWAF

No comments:

Post a Comment