Thursday, February 19, 2015

MAKALAH KORUPSI

Ayat-Ayat Mengenai Korupsi (Ghulul/Penggelapan)

1.                  Pengertian
Muhammad bin Salim bin Sa’id Babasil al-Syafi’I mengemukakan bahwa di antara bentuk-bentuk kemaksiatan tangan adalah al-ghulul atau berkhianat dengan harta rampasan perang, dan hal ini termasuk ke dalam dosa besar. Dalam kitab al-Zawajir dijelaskan, bahwa ghulul adalah tindakan mengkhusukan atau memisahkan yang dilakukan oleh seseorang tentara, baik ia seorang pemimpin terhadap harta rampasan perang sebelum dibagi, tanpa menyerahkannya terlebih dahulu kepada pemimpin untuk dibagi menjadi lima bagian, meskipun harta yang digelapkan itu hanya sedikit.[1] Rasulullah saw. Bersabda:

كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ (رواه البيهقي

“Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (makanan & minuman) yang haram, maka lebih berhak masuk ke dalam neraka.”
(HR. Baihaqi)

 Allah SWT berfirman:
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali-Imran: 161)

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.[2] Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

2.                  Penafsiran
Melalui pembahasan penafsiran kali ini, penulis mencoba menitik beratkan pembahasan ini pada kata “Yaghulla” yang terdapat dalam Surat Ali ‘Imron (3) ayat 161 yang mana sesuai masuk dalam unsur sebuah tindak pidana korupsi. Di dalam ayat ini terdapat kata Yaghulla atau Ghulul yang dapat kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti curang atau menggelapkan. Dalam kamus Arabi arti dari Ghalla – yaghullu – ghullan adalah seseorang mengambil sesuatu lalu dimasukkan dengan sembunyi-sembunyi ke dalam barang yang lain.
Kemudian dari kalimat di atas, kalimat ini dipakai untuk orang yang mendapat harta rampasan perang lalu sebelum barang itu dibagi dengan adil oleh kepala perang, telah terlebih dahulu disembunyikannya ke dalam penaruhannya. Sehingga barang itu tidak masuk dalam pembagian, maka samalah keadaan itu dengan mencuri. Karena menurut peraturan perang, harta ghanimah tersebut dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu setelah perang baik besar maupun kecil. Kemudian, kepala perang membagikan barang tersebut dengan adil, walaupun menurut kebijaksanaan beliau barang yang di dapat oleh seseorang diserahkan pula kepadanya untuk dimiliki sendiri. Tetapi pertimbangannya adalah harus mendahulukan hak baitul maal (Negara) dan barang siapa yang melakukan ghulul sama artinya dia berkhianat.[3]

A.                Ayat Mengenai Kolusi (Risywah/Penuapan)
1.                  Pengertian
Suap biasanya diberikan dalam suatu praktik peradilan kepada pihak-pihak yang cukup berpengaruh, semisal jaksa, hakim, maupun pengacara. Karena itulah, praktik ini dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Tujuan yang diharapkan si penyuap dalam aktivitas ini tidak lain adalah memenangkan perkara ataupun memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan sesuatu. Sesuatu yang ingin diselesaikannya bisa merupakan hal yang halal maupun haram. Namun, terlepas dari hukum hal yang ingin dicapai, kehadiran ad-dalwu dalam usaha mencapai hal tersebut sudah memberikan nilai minus. Tidak ada penjabaran mengenai hukuman praktik ini dalam Al-Qur`an. Akan tetapi, penyajian fi`il nahi dalam bahasan ini cukup merepresentasikan bahwa praktik ini haram dilakukan, karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Allah SWT berfirman:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

2.                  Penafsiran
Ini menggunakan term addalwu (jama` dari dalyun )– al idla`.[4] Pada dasarya, arti dari kata ini adalah menurunkan timba untuk mengambil air. Thaba` Thabai menambahkan bahwa pengertian menurunkan timba ke dalam sumber yang tujuannya mendapatkan air tersebut sama halnya dengan praktik suap yang dilakukan secara sembunyi. Sebagaimana diketahui bahwa ketika sebuah timba dimasukkan ke dalam sumur, maka orang lain tidak bisa melihatnya. Secara otomatis, orang lain juga tidak tahu bahwa ada timba yang berusaha mengambil air (manfaat) dari sumur tersebut. Hal ini sama dengan keadaan praktik suap yang memang sengaja disamarkan dari publik agar tujuan suap tersebut tetap off the record.[5]
Jika dilihat dari konteks ayat sebelumnya yang menerangkan kebolehan berbuka setelah menunaikan ibadah puasa, maka ayat ini menegaskan bahwa kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Ada aturan-aturan yang harus diindahkan seorang muslim dalam hal mencari nafkah atau mengadakan interaksi ekonomi. Secara umum, aturan tersebut tertulis dalam larangan memakan harta secara bathil.[6]
Sedangkan ayat sesudahnya memaparkan satu contoh dari praktik bathil tersebut, yakni menyuap seorang hakim dengan tujuan agar hakim tersebut melakukan suatu hal yang diperintahkan dan tentunya menguntungkan bagi si penyuap. Padanan kata dari term ad-dalwu ini adalah ar-risywah. Ironisnya, seperti disebutkan dalam teks ayat ini, orang yang disuap menyadari bahwa pemberi suap tersebut berada dalam pihak yang salah. Namun, karena mendapatkan uang suap, hakim yang menerima suap tersebut kemudian membohongi hati nuraninya sendiri dan menggunakan kemahirannya untuk membela orang yang salah.
Ensiklopedi Al-Qur`an menjelaskan asbabunnuzul ayat ini sebaga berikut: Pada suatu hari, ada dua orang yang saling berseteru dan sama-sama mengaku bahwa merekalah pemilik sah sebuah tanah. Namun, keduanya tidak memiliki saksi dan bukti yang bisa menguatkan pengakuannya. Karena proses ini cukup alot, maka hakim memerintahan kedua belah pihak untuk sama-sama bersumpah. Mereka berdua sama-sama bersumpah. Namun salah satu dari mereka, yakni orang yang bernama Imri`i Qays memberikan sumpah palsu. Karena itulah, ayat ini kemudian turun. Hal ini juga berkait erat dengan kebiasaan masyarakat saat itu (mungkin juga saat ini) yang menjadikan pengadilan sebagai media penyelamat untuk membela mereka yang sebenarnya berada pada pihak yang salah. Ironi ini disebabkan menjamurnya mafia peradilan. Di pengadilan, orang yang pandai bersilat lidah dan memiliki dana cukup, sangat dimungkinkan bisa memenangkan kasus meskipun berada dalam pihak yang salah. Hal ini merupakan outcome dari praktik menyogok hakim, pengacara, dan orang-orang yang berkecimpung dalam lembaga peradilan.[7]

B.                 Larangan Nepotisme dalam Islam
Nepotisme berasal dari bahasa Perancis nepote yang berarti keponakan. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menjelaskan praktek favoritisme yang dilakukan oleh pimpinan Gereja Katolik Romawi (Paus dan para Kardinal) pada abad pertengahan, yang memberikan jabatan-jabatan kepada sanak, famili, keponakan atau orang-orang yang mereka sukai.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka Nepotisme dapat didefinisikan sebagai berikut: “Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan seorang pemimpin yang lebih mendahulukan keluarga dan sanak famili dalam mem-berikan jabatan dan yang lain, baik dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam manajemen perusahaan swasta.
Pada umumnya, manusia mempunyai ikatan jiwa yang lebih kuat dengan keluarga dan sanak famili dibanding dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori 'ashobiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang pemimpin pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga atau orang yang disenanginya serta lebih mementingkan dan mengutamakan mereka dalam segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak mempunyai ikatan apa-apa. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

ü  Pada umumnya, kerabat memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan orang lain.
ü  Pada umumnya, keluarga lebih mudah fit in dibanding non keluarga.
ü  Pada umumnya keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain.
ü  Pada umumnya keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.
ü  Pada umumnya keluarga lebih mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif dibandingkan dengan orang lain.
ü  Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab dengan baik, maka akan mendorong semangat kerja orang lain.

Sepanjang keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai kemampuan dan profesionalisme serta bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, maka tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Permasalahannya adalah, bagaimana jika keluarga atau famili atau orang lain yang disenanginya itu tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya?
Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan -apalagi jabatan yang sangat strategis-kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan, padahal yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, atau ada orang lain yang lebih berhak dari padanya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam hadits shahih riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagaiberikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنْ عِصَابَةٍ وَفِيْ تِلْكَ اْلعِصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى لِلهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ اْلمُؤْمِنِيْنَ (رواه الحاكم
"Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepadaAllah, Rasulullah dan orang-orang yang beriman". (HR. al-Hakim)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau sanak famili dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun nepotisme yang disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang.





[1] Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil al-Syafi’I, Is’ad al-Rafiq wa Bughiyyah al-Sadiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq ila Mahabbatillah ‘ala al-Tahqiq, (Indonesia, ttp, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), jilid 2, hlm. 98.
[2] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.

[3] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas, 2003), Juz III-IV, hlm.179.
[4] Chamamah Suratno (ed), Ensiklopedi Al-Qur`an: Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm. 400

[5] Thaba` Thaba`i, Tafsir Al Mizan juz 2, (Beirut: Yayasan al-I`lami, tt), hlm. 52.
[6] Mushthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, vol. 2. (Semarang: Toha Putra, 1987), hlm. 140-142.
[7] Chamamah (ed), Op. Cit, hlm. 401.

No comments:

Post a Comment