Ayat-Ayat Mengenai Korupsi
(Ghulul/Penggelapan)
1.
Pengertian
Muhammad bin Salim bin Sa’id Babasil al-Syafi’I mengemukakan bahwa
di antara bentuk-bentuk kemaksiatan tangan adalah al-ghulul atau berkhianat dengan harta rampasan perang, dan hal ini
termasuk ke dalam dosa besar. Dalam kitab al-Zawajir
dijelaskan, bahwa ghulul adalah
tindakan mengkhusukan atau memisahkan yang dilakukan oleh seseorang tentara,
baik ia seorang pemimpin terhadap harta rampasan perang sebelum dibagi, tanpa
menyerahkannya terlebih dahulu kepada pemimpin untuk dibagi menjadi lima
bagian, meskipun harta yang digelapkan itu hanya sedikit.[1] Rasulullah saw. Bersabda:
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ (رواه البيهقي
“Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (makanan & minuman) yang haram, maka lebih berhak masuk ke dalam neraka.” (HR. Baihaqi)
Allah SWT berfirman:
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äót 4 `tBur ö@è=øót ÏNù't $yJÎ/ ¨@xî tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur w tbqßJn=ôàã ÇÊÏÊÈ
“Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali-Imran: 161)
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w (#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4 wur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJÏmu
ÇËÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.[2] Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
2.
Penafsiran
Melalui pembahasan penafsiran kali
ini, penulis mencoba menitik beratkan pembahasan ini pada kata “Yaghulla” yang terdapat dalam Surat Ali
‘Imron (3) ayat 161 yang mana sesuai masuk dalam unsur sebuah tindak pidana
korupsi. Di dalam ayat ini terdapat kata Yaghulla
atau Ghulul yang dapat kita
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti curang atau menggelapkan.
Dalam kamus Arabi arti dari Ghalla –
yaghullu – ghullan adalah seseorang mengambil sesuatu lalu dimasukkan
dengan sembunyi-sembunyi ke dalam barang yang lain.
Kemudian dari kalimat di atas,
kalimat ini dipakai untuk orang yang mendapat harta rampasan perang lalu
sebelum barang itu dibagi dengan adil oleh kepala perang, telah terlebih dahulu
disembunyikannya ke dalam penaruhannya. Sehingga barang itu tidak masuk dalam
pembagian, maka samalah keadaan itu dengan mencuri. Karena menurut peraturan
perang, harta ghanimah tersebut
dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu setelah perang baik besar maupun
kecil. Kemudian, kepala perang membagikan barang tersebut dengan adil, walaupun
menurut kebijaksanaan beliau barang yang di dapat oleh seseorang diserahkan
pula kepadanya untuk dimiliki sendiri. Tetapi pertimbangannya adalah harus
mendahulukan hak baitul maal (Negara) dan barang siapa yang melakukan ghulul
sama artinya dia berkhianat.[3]
A.
Ayat
Mengenai Kolusi (Risywah/Penuapan)
1.
Pengertian
Suap biasanya diberikan dalam suatu praktik peradilan kepada
pihak-pihak yang cukup berpengaruh, semisal jaksa, hakim, maupun pengacara.
Karena itulah, praktik ini dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Tujuan yang
diharapkan si penyuap dalam aktivitas ini tidak lain adalah memenangkan perkara
ataupun memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan sesuatu. Sesuatu yang ingin
diselesaikannya bisa merupakan hal yang halal maupun haram. Namun, terlepas
dari hukum hal yang ingin dicapai, kehadiran ad-dalwu dalam usaha
mencapai hal tersebut sudah memberikan nilai minus. Tidak ada penjabaran
mengenai hukuman praktik ini dalam Al-Qur`an. Akan tetapi, penyajian fi`il
nahi dalam bahasan ini cukup merepresentasikan bahwa praktik ini haram
dilakukan, karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Allah SWT
berfirman:
wur
(#þqè=ä.ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Nä3oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
(#qä9ôè?ur
!$ygÎ/
n<Î)
ÏQ$¤6çtø:$#
(#qè=à2ù'tGÏ9
$Z)Ìsù
ô`ÏiB
ÉAºuqøBr&
Ĩ$¨Y9$#
ÉOøOM}$$Î/
óOçFRr&ur
tbqßJn=÷ès?
ÇÊÑÑÈ
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)
2.
Penafsiran
Ini menggunakan
term addalwu (jama` dari dalyun )– al idla`.[4]
Pada dasarya, arti dari kata ini adalah menurunkan timba untuk mengambil
air. Thaba` Thabai menambahkan bahwa pengertian menurunkan timba ke dalam
sumber yang tujuannya mendapatkan air tersebut sama halnya dengan praktik suap
yang dilakukan secara sembunyi. Sebagaimana diketahui bahwa ketika sebuah timba
dimasukkan ke dalam sumur, maka orang lain tidak bisa melihatnya. Secara
otomatis, orang lain juga tidak tahu bahwa ada timba yang berusaha mengambil
air (manfaat) dari sumur tersebut. Hal ini sama dengan keadaan praktik suap
yang memang sengaja disamarkan dari publik agar tujuan suap tersebut tetap off
the record.[5]
Jika dilihat
dari konteks ayat sebelumnya yang menerangkan kebolehan berbuka setelah
menunaikan ibadah puasa, maka ayat ini menegaskan bahwa kebebasan yang dimaksud
adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Ada aturan-aturan yang harus diindahkan
seorang muslim dalam hal mencari nafkah atau mengadakan interaksi ekonomi.
Secara umum, aturan tersebut tertulis dalam larangan memakan harta secara bathil.[6]
Sedangkan ayat
sesudahnya memaparkan satu contoh dari praktik bathil tersebut, yakni
menyuap seorang hakim dengan tujuan agar hakim tersebut melakukan suatu hal
yang diperintahkan dan tentunya menguntungkan bagi si penyuap. Padanan kata
dari term ad-dalwu ini adalah ar-risywah. Ironisnya, seperti
disebutkan dalam teks ayat ini, orang yang disuap menyadari bahwa pemberi suap
tersebut berada dalam pihak yang salah. Namun, karena mendapatkan uang suap,
hakim yang menerima suap tersebut kemudian membohongi hati nuraninya sendiri
dan menggunakan kemahirannya untuk membela orang yang salah.
Ensiklopedi
Al-Qur`an menjelaskan asbabunnuzul ayat ini sebaga berikut: Pada suatu hari,
ada dua orang yang saling berseteru dan sama-sama mengaku bahwa merekalah
pemilik sah sebuah tanah. Namun, keduanya tidak memiliki saksi dan bukti yang
bisa menguatkan pengakuannya. Karena proses ini cukup alot, maka hakim
memerintahan kedua belah pihak untuk sama-sama bersumpah. Mereka berdua
sama-sama bersumpah. Namun salah satu dari mereka, yakni orang yang bernama
Imri`i Qays memberikan sumpah palsu. Karena itulah, ayat ini kemudian turun.
Hal ini juga berkait erat dengan kebiasaan masyarakat saat itu (mungkin juga
saat ini) yang menjadikan pengadilan sebagai media penyelamat untuk membela
mereka yang sebenarnya berada pada pihak yang salah. Ironi ini disebabkan
menjamurnya mafia peradilan. Di pengadilan, orang yang pandai bersilat lidah
dan memiliki dana cukup, sangat dimungkinkan bisa memenangkan kasus meskipun
berada dalam pihak yang salah. Hal ini merupakan outcome dari praktik
menyogok hakim, pengacara, dan orang-orang yang berkecimpung dalam lembaga
peradilan.[7]
B.
Larangan Nepotisme dalam Islam
Nepotisme
berasal dari bahasa Perancis nepote yang berarti keponakan. Istilah ini pada mulanya
digunakan untuk menjelaskan praktek favoritisme yang dilakukan oleh pimpinan
Gereja Katolik Romawi (Paus dan para Kardinal) pada abad pertengahan, yang
memberikan jabatan-jabatan kepada sanak, famili, keponakan atau orang-orang
yang mereka sukai.
Berdasarkan
pengertian bahasa di atas, maka Nepotisme dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan seorang pemimpin yang lebih
mendahulukan keluarga dan sanak famili dalam mem-berikan jabatan dan yang lain,
baik dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam manajemen perusahaan swasta.
Pada umumnya,
manusia mempunyai ikatan jiwa yang lebih kuat dengan keluarga dan sanak famili
dibanding dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori 'ashobiyah yang
dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang
pemimpin pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang
memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga atau orang yang
disenanginya serta lebih mementingkan dan mengutamakan mereka dalam segala hal
dibanding dengan orang lain yang tidak mempunyai ikatan apa-apa. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
ü Pada umumnya,
kerabat memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar terhadap pekerjaannya
dibandingkan dengan orang lain.
ü Pada umumnya,
keluarga lebih mudah fit in dibanding non keluarga.
ü Pada umumnya
keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkan dengan orang
lain.
ü Pada umumnya
keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan orang lain.
ü Pada umumnya
keluarga lebih mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif
dibandingkan dengan orang lain.
ü Jika keluarga
yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab dengan
baik, maka akan mendorong semangat kerja orang lain.
Sepanjang
keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai kemampuan dan profesionalisme
serta bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, maka
tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Permasalahannya adalah, bagaimana
jika keluarga atau famili atau orang lain yang disenanginya itu tidak mempunyai
kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang
jabatan yang diberikan kepadanya?
Menurut ajaran
Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan -apalagi jabatan yang
sangat strategis-kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan, padahal yang bersangkutan tidak mempunyai
kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang
jabatan yang diberikan kepadanya, atau ada orang lain yang lebih berhak dari
padanya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam hadits shahih
riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas,
sebagaiberikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنْ عِصَابَةٍ وَفِيْ تِلْكَ اْلعِصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى لِلهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ اْلمُؤْمِنِيْنَ (رواه الحاكم
"Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepadaAllah, Rasulullah dan orang-orang yang beriman". (HR. al-Hakim)
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran
Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga
atau sanak famili dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme
serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun nepotisme yang
disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah
seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang.
[1] Muhammad bin
Salim bin Sa’id Babashil al-Syafi’I, Is’ad
al-Rafiq wa Bughiyyah al-Sadiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq ila Mahabbatillah
‘ala al-Tahqiq, (Indonesia, ttp, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth),
jilid 2, hlm. 98.
[2] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh
orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena
umat merupakan suatu kesatuan.
[3] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas,
2003), Juz III-IV, hlm.179.
[4] Chamamah Suratno (ed), Ensiklopedi
Al-Qur`an: Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm.
400
[5] Thaba`
Thaba`i, Tafsir Al Mizan juz 2, (Beirut: Yayasan al-I`lami, tt), hlm.
52.
[6] Mushthafa Al
Maraghi, Tafsir Al Maraghi, vol. 2. (Semarang: Toha Putra, 1987), hlm.
140-142.
[7] Chamamah (ed), Op. Cit,
hlm. 401.
No comments:
Post a Comment