BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tarikh Tasyrik merupakan satu
pembelajaran yang membawa kita supaya dapat mengetahui sesuatu sejarah
bagaimana terjadinya syariat atau syariah islamiah yang diikuti oleh setiap
umat Islam dari zaman kerasulan Nabi Muhammad S.A.W sehingga ke akhir
zaman yaitu Kiamat. Hukum-hukum yang terdapat dalam kalam Allah itu
dipanggil sebagai syariat karena setiap arahan atau larangan Allah itu dikenali
sebagai syariat.
Nasikh mansukh merupakan salah
satu dari pembahasan ilmu al Qur'an. Dalam perkembangannya konsep naskh sangat kontroversial.
Jika nasakh ini dilihat dari perspektif sejarah serta diangkat dalam sebuah
kajian tafsir dan ulumul Qur'an, memiliki peran yang peranan dalam
wacana tafsir. Hal ini terbukti bahwa, jika sebuah ayat disimpulkan sebagai
ayat nasikh maka yang berhak menaskhnya adalah Allah s.w.t. dalam makalah ini
kami sedikit menguraikan sejarah dan perkembangan nasikh mansukh, mengetahui
sejauh mana implikasi nasikh dan mansukh terhadap penafsiran al
Qur'an.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan nasakh mansukh?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan nasakh mansukh?
3.
Jelaskan jenis-jenis nasakh mansukh?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pengertian nasakh mansukh.
2.
Mengetahui sejarah perkembangan nasakh mansukh.
3.
Mengetahui jenis-jenis nasakh mansukh.
BAB II
NASAKH DAN
MANSUKH
A.
Pengertian Nasakh dan Mansukh
Nasakh diambilkan dari bahasa arab yang berarti
mengganti atau menghapus. Sedangkan menurut istilah nasakh berarti mengganti atau menghapus hukum syara’ dengan
dalil hukum syara’ yang lain (yang turun kemudian). Dan yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syarak itu pada
hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain. Sebab dalam hukum syarak itu
hanya dari Allah SWT tidak dari yang lain. [1].
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III
H) memperluas arti nasakh sehingga mencakup:
a.
Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian (menasakh-mansukh).
b.
Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian (men-takhsish).
c.
Penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar (Al-Munsa' / penundaan).
d.
Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang
belum bersyarat.
Bahkan ada diantara mereka
yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi
tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat
adanya kondisi lain, seperti perintah
untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah disaat kaum muslimin
lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode
Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang
membatalkan hukum yang berlaku pada masa
pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasakh.
Pengertian yang demikian
luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[2]
Mansukh menurut bahasa adalah dihapus, dibatalkan,
dipindahkan. Sedangkan mansukh menurut istilah
adalah nash syara’ yang dihapus lafazh atau hukumya. Atau mansukh itu adalah
berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang
baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki dan
penggantian hukum tadi.
Misalnya pengahapusan keharaman berziarah kubur dalam sabda
Rasulullah Saw:
كُنْتٌ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلُقُبُوْرِ الَا فَزُوْرَهَا فَإِنَّهَا
تُذَكِرُكُمُ اْلَاخِرَةَ (رواه مسلم وابو داود)
Artinya:
Konon kami melarang kamu berziarah kubur.Sekarang berziarah
kuburlah.Karna hal itu dapat mengingatkan kamu tentang keakhiratan.(HR. Muslim dan Abu Daud)
Semula hukum
berziarah kubur menurut petunjuk rangkaian kalimat “kuntu nahaitukum ‘an
ziya-rotil-qubur” haram. Kemudian dating dalil syara’ berikutnya yang isinya
bukan melarang tetapi bahkan memerintahkannya, yaitu dalam kalimat “ ala
fazuruha” dan seterusnya. Dengan demikian status hukumnya yang haram itu
dihapus dan diganti dengan hukum baru, yaitu ja’iz (boleh). Dalil syara’ yang
datang lebih dulu dan telah dihapus hukum yang ditunjuknya disebut mansukh,
dan dalil syara’ yang datang kemudian untuk menghapusnya disebut nasikh.
Tidak dikatakan
nasikh apabila dalil yang didatangkan kemudian tidak membatalkan kandungan
dalil yang terdahulu.
Misalnya:
كُنْتٌ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ اِدْخَارِ لُحُوْمَ الْأَضَاحِى مِنْ أَجَلِ االدَّفَّةِ
الَّتِى دَفَّتْ فَكُلُوْا وَادَّخِرُوا. (رواه النسائ)
Artinya:
konon kami melarang kamu menyimpan daging kurban lantaran orang-orang
berkerumun memerlukannya. Sekarang makanlah dan simpanlah daging kurban itu. (HR. an- Nasa’i)
Perintah memakan
dan menyimpan daging kurban pada dalil kedua tidak sampai membatalkan larangan
menyimpan pada dalil pertama.[3]
B.
Jenis-Jenis Nasakh
1.
Nasakh
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Bagian
ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang
mengatakan adanya nasakh.[4]
Misalnya:
Menasakh surat an-nisa’ ayat 43 dengan surat al-maidah: 90
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w
(#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? …
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sewaktu kamu
sedang mabuk, sampai kamu menyadari apa yang kamu ucapkan…”(an-nisa’:43)
Apa yang tersirat
dari ibarat nash tersebut adalah meminum khamar itu bila tidak sampai
mengganggu peminumnya untuk melakukan shalat pada waktunya diperbolehkan.
Misalnya seseorang meminum khamar seusai shalat isya’ kemudian dia tidur, maka
sewaktu melakukan shalat subuh tidak terjadi gangguan, lantaran mabuknya telah
hilang. Berlainan halnya bila minumnya itu dilakukan pada siang hari, sebab
mabuknya belum sampai hilang segera datang waktu untuk shalat. Kemudian turun
firman Allah:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bahwasanya khamar, judi, berhala dan
ramalan nasib dengan anak panah itu adalah keji dari amalan setan. Karena itu
jauhilah agar kamu beruntung.
(al-maidah:90)
Apa yang tersirat
didalam surat al-maidah:90 ini menunjukkan bahwa meminum khamar itu adalah
haram secara mutlak. Baik mengganggu waktu shalat maupun tidak. Oleh karena
itu, ayat tersebut menasakh surat an-nisa’:43.[5]
2.
Nasakh
Al-Qur’an dengan As-Sunnah
Nasakh ini ada dua macam:
· Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad
Jumhur berpendapat Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad,
sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad
itu Zhanni, bersifat dugaan.
· Nasakh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir
Nasakh semacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad
dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.[6]
Misalnya:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (al-baqarah: 180)
Dinasakh oleh sabda Rasulullah Saw:
لاَ
وَصِيَةَ لِوَارِثٍ (رواه الدار القطنى)
Artinya:
Tidak ada wasiat bagi orang yang menerima pusaka. (HR. ad-Daruquthni)[7]
3.
Nasakh
as-Sunnah dengan Al-Qur’an
Menurut ulama jumhur ahli ushul boleh dan benar-benar terjadi dalam
kenyataannya.
Adapun contoh nasikh sunnah dengan al-Qur’an
adalah ketika “tradisi” Nabi yang masih berkiblat di Bait
al-Maqdis, dan enam bulan kemudian setelah hijrah ke Madinah, maka
turunlah ketetapan dari al-Qur’an (QS. al-Baqarah : 144)
... ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ...
Artinya:
“maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram.” (Al-Baqarah:144)
4.
Nasakh
sunnah dengan sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
Ø Nasakh mutawatir dengan mutawatir
Ø Nasakh ahad dengan ahad
Ø Nasakh ahad dengan mutawatir.
Ø Nasakh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk ke empat terjadi
silang pendapat seperti halnya nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau
menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.[8]
C.
Pembagian
Nasakh Dalam Al-Qur’an
Naskh Al-Quran terbagi menjadi tiga macam yakni
:
a)
Nasahk tilawah
dan hukum
Yaitu hilangnya teks
al-Qur’an dan hukumnya. Seperti ayat penyebab muhrim dengan sepuluh
susuan. Ini terlihat apa yang
disampaikan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa: Diantara
yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu
menyebabkan muhrim. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat “Lima
susuan yang maklum”. Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’ telah dinasakh dengan ayat
lain yang berlafazh ‘Lima susuan’. Demikian juga hukum lima susuan telah
menasakh hukum sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.
Hadits yang disampaikan oleh Aisyah ini,
menurut Zarqani adalah sahih. Hal ini, justru semakin mempertegas bahwa ada
teks yang “hilang” dalam mushaf Usman, meskipun setelah Nabi wafat ayat ini
masih dibaca oleh sebagian sahabat.
b)
Nasakh hukum
sedang tilawahnya tetap.
Misalnya nasakh hukum ayat-ayat iddah selama
satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Di sini dijelaskan bahwa iddah wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya, yakni satu tahun tidak boleh keluar rumah,
sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah:240
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4 ...
Artinya:
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia
diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiyat untuk istri-istinya
berupa nafkah sampai setahun lamanya dengan tidak menyuruh keluar rumah… (QS.
Al-Baqarah:240)
Ayat ini isteri-isteri yang dicerai harus
beriddah selama 1 tahun, kemudian Allah menasakh hukum ayat tersebut, Sehingga
keharusan iddah satu tahun sudah tidak berlaku lagi, sekalipun lafal naskh
ayatnya masih tetap ada dan boleh dibaca. Lalu diganti dengan QS.Al-baqarah: 234
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ...
Artinya:
Dan orang-orang
yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri- istri itu
menangguhkan diri mereka (beridah) selama 4 bulan 10 hari.(
QS.Al-baqarah: 234)
c)
Nasakh tilawah
sedang hukumnya tetap.
Maksudnya
tulisan ayatnya sudah dihapus, tetapi hukum isinya masih tetap berlaku dan
harus diamalkan. Hadis dari Umar bin Khaththab dan Ubayi bin Ka’ab
...كان فيما انزل من
القران الشيخ و الشيخة اذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله.
…Orang tua laki-laki
dan orang tua perempuan kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar
batu sampai mati) sekaligus sebagai balasan dari Allah.
Al-Aamidi menyatakan bahwa
ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh,
tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari
kalangan Muktazilah.
D.
Cara-cara untuk
mengetahui nasakh dan mansukh
a.
Adanya nash yang menjelaskan bahwa salah
satunya menjadi penasakh yang lain.
b.
Dibarengi dengan lafazh yang menunjukkan
sebagai nasakh terhadap yang terdahulu.
c.
Adanya dalil yang saling berlawanan dan tidak
dapat dikompromikan.
d.
Kedua dali yang bertentangan dapat
dikompromikan, namu syara’ meenetapkan bahwa salah satunya menjadi nasakh yang
lain, karena adanya nash yang menjelaskannya.
e.
Apabila tidak mungkin dikompromikan
(dijama’kan) akan tetapi, diketahui sejarah turunnya, maka yang dating kemudian
sebagai nasakh terhadap yang dating terdahulu.
E.
Hikmah adanya
Nasakh :
1)
Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2)
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat kesempurnaan
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3)
Cobaan
dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4)
Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh
beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan
jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Naskh ialah
mengangkat(menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang
lain.Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Jenis-jenis nasakh, yaitu: Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Nasakh as-Sunnah dengan Al-Qur’an, Nasakh
sunnah dengan sunnah.
Nasakh dalam alqur’an dibagi kepada 3 macam yaitu: nasakh tilawah
dan hukum, nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, dan nasakh tilawah sedang
hukumnya tetap.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Zaini, ulumul Qur’an suatupengantar,
Yayasan Pena, Banda Aceh, 2005.
MukhtarYahyadanFatchurRahman,
Dasar-DasarPembinaanFiqih Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986
QuraishShihab, Membumikan Al-qur’an, PT MizanPustaka,
Bandung, 1994.
Syaikh Manna’
Al-Qaththan, PengantarStudiIlmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
[1] Muhammad Zaini,
ulumul Qur’an suatu pengantar,
Yayasan Pena, Banda Aceh, 2005. Hlm:64
[2]Quraish Shihab,
Membumikan Al-qur’an, PT Mizan
Pustaka, Bandung, 1994. Hlm:144
[3] Mukhtar Yahya
dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, cet. I,
(Bandung: Alma’arif, 1986), hal. 422-423
[4] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, cet. I, ( Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2006), hal. 291
[5] Mukhtar Yahya
dan Fatchur Rahman, ………………………….., hal. 443-444
[6] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, ………………………………………,hal. 292
[7] Mukhtar Yahya
dan Fatchur Rahman, …………………………………,hal. 451-452
No comments:
Post a Comment