Friday, February 20, 2015

NASAIKH MANSUKH

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Tarikh Tasyrik merupakan satu pembelajaran yang membawa kita supaya dapat mengetahui sesuatu sejarah bagaimana terjadinya syariat atau syariah islamiah yang diikuti oleh setiap umat Islam dari zaman kerasulan Nabi Muhammad S.A.W sehingga ke akhir zaman yaitu Kiamat. Hukum-hukum yang terdapat dalam kalam Allah itu dipanggil sebagai syariat karena setiap arahan atau larangan Allah itu dikenali sebagai syariat.
Nasikh mansukh merupakan salah satu dari pembahasan ilmu al Qur'an. Dalam perkembangannya konsep naskh sangat kontroversial. Jika nasakh ini dilihat dari perspektif sejarah serta diangkat dalam sebuah kajian tafsir dan ulumul Qur'an, memiliki peran yang peranan dalam wacana tafsir. Hal ini terbukti bahwa, jika sebuah ayat disimpulkan sebagai ayat nasikh maka yang berhak menaskhnya adalah Allah s.w.t. dalam makalah ini kami sedikit menguraikan sejarah dan perkembangan nasikh mansukh, mengetahui sejauh mana implikasi nasikh dan mansukh terhadap penafsiran al Qur'an.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan nasakh mansukh?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan nasakh mansukh?
3.      Jelaskan jenis-jenis nasakh mansukh?

C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian nasakh mansukh.
2.      Mengetahui sejarah perkembangan nasakh mansukh.
3.      Mengetahui jenis-jenis nasakh mansukh.



BAB II
NASAKH DAN MANSUKH

A.    Pengertian Nasakh dan Mansukh
Nasakh diambilkan dari bahasa arab yang berarti mengganti atau menghapus. Sedangkan menurut istilah nasakh berarti mengganti atau menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain (yang turun kemudian). Dan yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain. Sebab dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT tidak dari yang lain.  [1].
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti nasakh sehingga mencakup:
a.       Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian (menasakh-mansukh).
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian (men-takhsish).
c.        Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar (Al-Munsa' / penundaan).
d.       Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Bahkan ada diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti  perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah disaat kaum muslimin lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan  hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasakh.
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[2]
Mansukh menurut bahasa adalah dihapus, dibatalkan, dipindahkan. Sedangkan mansukh menurut istilah adalah nash syara’ yang dihapus lafazh atau hukumya. Atau mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki dan penggantian hukum tadi.
Misalnya pengahapusan keharaman berziarah kubur dalam sabda Rasulullah Saw:
كُنْتٌ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلُقُبُوْرِ الَا فَزُوْرَهَا فَإِنَّهَا تُذَكِرُكُمُ اْلَاخِرَةَ (رواه مسلم وابو داود)
Artinya:
Konon kami melarang kamu berziarah kubur.Sekarang berziarah kuburlah.Karna hal itu dapat mengingatkan kamu tentang keakhiratan.(HR. Muslim dan Abu Daud)
            Semula hukum berziarah kubur menurut petunjuk rangkaian kalimat “kuntu nahaitukum ‘an ziya-rotil-qubur” haram. Kemudian dating dalil syara’ berikutnya yang isinya bukan melarang tetapi bahkan memerintahkannya, yaitu dalam kalimat “ ala fazuruha” dan seterusnya. Dengan demikian status hukumnya yang haram itu dihapus dan diganti dengan hukum baru, yaitu ja’iz (boleh). Dalil syara’ yang datang lebih dulu dan telah dihapus hukum yang ditunjuknya disebut mansukh, dan dalil syara’ yang datang kemudian untuk menghapusnya disebut nasikh.
            Tidak dikatakan nasikh apabila dalil yang didatangkan kemudian tidak membatalkan kandungan dalil yang terdahulu.
Misalnya:
كُنْتٌ نَهَيْتُكُمْ عَنْ اِدْخَارِ لُحُوْمَ الْأَضَاحِى مِنْ أَجَلِ االدَّفَّةِ الَّتِى دَفَّتْ فَكُلُوْا وَادَّخِرُوا. (رواه النسائ)

Artinya:
konon kami melarang kamu menyimpan daging kurban lantaran orang-orang berkerumun memerlukannya. Sekarang makanlah dan simpanlah daging kurban itu. (HR. an- Nasa’i)
            Perintah memakan dan menyimpan daging kurban pada dalil kedua tidak sampai membatalkan larangan menyimpan pada dalil pertama.[3]
B.     Jenis-Jenis Nasakh
1.    Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh.[4]
Misalnya:
Menasakh surat an-nisa’ ayat 43 dengan surat al-maidah: 90
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sewaktu kamu sedang mabuk, sampai kamu menyadari apa yang kamu ucapkan…”(an-nisa’:43)
            Apa yang tersirat dari ibarat nash tersebut adalah meminum khamar itu bila tidak sampai mengganggu peminumnya untuk melakukan shalat pada waktunya diperbolehkan. Misalnya seseorang meminum khamar seusai shalat isya’ kemudian dia tidur, maka sewaktu melakukan shalat subuh tidak terjadi gangguan, lantaran mabuknya telah hilang. Berlainan halnya bila minumnya itu dilakukan pada siang hari, sebab mabuknya belum sampai hilang segera datang waktu untuk shalat. Kemudian turun firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bahwasanya khamar, judi, berhala dan ramalan nasib dengan anak panah itu adalah keji dari amalan setan. Karena itu jauhilah agar kamu beruntung. (al-maidah:90)
            Apa yang tersirat didalam surat al-maidah:90 ini menunjukkan bahwa meminum khamar itu adalah haram secara mutlak. Baik mengganggu waktu shalat maupun tidak. Oleh karena itu, ayat tersebut menasakh surat an-nisa’:43.[5]
2.    Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah
Nasakh ini ada dua macam:
· Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad
Jumhur berpendapat Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu Zhanni, bersifat dugaan.
· Nasakh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir
Nasakh semacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.[6]

Misalnya:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf  (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (al-baqarah: 180)
Dinasakh oleh sabda Rasulullah Saw:
لاَ وَصِيَةَ لِوَارِثٍ (رواه الدار القطنى)
Artinya:
Tidak ada wasiat bagi orang yang menerima pusaka. (HR. ad-Daruquthni)[7]
3.    Nasakh as-Sunnah dengan Al-Qur’an
Menurut ulama jumhur ahli ushul boleh dan benar-benar terjadi dalam kenyataannya.
Adapun contoh nasikh sunnah dengan al-Qur’an adalah ketika “tradisi” Nabi yang masih berkiblat di Bait al-Maqdis, dan enam bulan kemudian setelah hijrah ke Madinah, maka turunlah ketetapan dari al-Qur’an (QS. al-Baqarah : 144)
... ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ...
Artinya:
“maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram.” (Al-Baqarah:144)
4.    Nasakh sunnah dengan sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
Ø Nasakh mutawatir dengan mutawatir
Ø Nasakh ahad dengan ahad
Ø Nasakh ahad dengan mutawatir.
Ø Nasakh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.[8]

C.  Pembagian Nasakh Dalam Al-Qur’an
Naskh Al-Quran terbagi menjadi tiga macam yakni :
a)   Nasahk tilawah dan hukum
Yaitu hilangnya teks al-Qur’an dan hukumnya. Seperti ayat penyebab muhrim dengan sepuluh susuan. Ini terlihat apa yang disampaikan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa: Diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat “Lima susuan yang maklum”. Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’ telah dinasakh dengan ayat lain yang berlafazh ‘Lima susuan’. Demikian juga hukum lima susuan telah menasakh hukum sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.
Hadits yang disampaikan oleh Aisyah ini, menurut Zarqani adalah sahih. Hal ini, justru semakin mempertegas bahwa ada teks yang “hilang” dalam mushaf Usman, meskipun setelah Nabi wafat ayat ini masih dibaca oleh sebagian sahabat.

b)   Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap.
Misalnya nasakh hukum ayat-ayat iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Di sini dijelaskan bahwa iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni satu tahun tidak boleh keluar rumah, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah:240
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ...

Artinya:
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiyat untuk istri-istinya berupa nafkah sampai setahun lamanya dengan tidak menyuruh keluar rumah… (QS. Al-Baqarah:240)

Ayat ini isteri-isteri yang dicerai harus beriddah selama 1 tahun, kemudian Allah menasakh hukum ayat tersebut, Sehingga keharusan iddah satu tahun sudah tidak berlaku lagi, sekalipun lafal naskh ayatnya masih tetap ada dan boleh dibaca. Lalu diganti dengan QS.Al-baqarah: 234
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ...
Artinya:
Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri- istri itu menangguhkan diri mereka (beridah) selama 4 bulan 10 hari.( QS.Al-baqarah: 234)
                                                                                                                    
c)    Nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.
Maksudnya tulisan ayatnya sudah dihapus, tetapi hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan. Hadis dari Umar bin Khaththab dan Ubayi bin Ka’ab
 ...كان فيما انزل من القران الشيخ و الشيخة اذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله.

Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati) sekaligus sebagai balasan dari Allah.
Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.

D.    Cara-cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh
a.       Adanya nash yang menjelaskan bahwa salah satunya menjadi penasakh yang lain.
b.      Dibarengi dengan lafazh yang menunjukkan sebagai nasakh terhadap yang terdahulu.
c.       Adanya dalil yang saling berlawanan dan tidak dapat dikompromikan.
d.      Kedua dali yang bertentangan dapat dikompromikan, namu syara’ meenetapkan bahwa salah satunya menjadi nasakh yang lain, karena adanya nash yang menjelaskannya.
e.       Apabila tidak mungkin dikompromikan (dijama’kan) akan tetapi, diketahui sejarah turunnya, maka yang dating kemudian sebagai nasakh terhadap yang dating terdahulu.
E.     Hikmah adanya Nasakh :
1)      Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2)      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3)       Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4)      Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Naskh ialah mengangkat(menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Jenis-jenis nasakh, yaitu: Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Nasakh as-Sunnah dengan Al-Qur’an, Nasakh sunnah dengan sunnah.
Nasakh dalam alqur’an dibagi kepada 3 macam yaitu: nasakh tilawah dan hukum, nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, dan nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.


DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Zaini, ulumul Qur’an suatupengantar, Yayasan Pena,  Banda Aceh, 2005.
MukhtarYahyadanFatchurRahman, Dasar-DasarPembinaanFiqih Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986
QuraishShihab, Membumikan Al-qur’an, PT MizanPustaka, Bandung, 1994.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, PengantarStudiIlmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.




[1] Muhammad Zaini, ulumul Qur’an suatu pengantar, Yayasan Pena,  Banda Aceh, 2005. Hlm:64
[2]Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, PT Mizan Pustaka, Bandung, 1994. Hlm:144
[3] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, cet. I, (Bandung: Alma’arif, 1986), hal. 422-423
[4] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, cet. I, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 291
[5] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, ………………………….., hal. 443-444
[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, ………………………………………,hal. 292
[7] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, …………………………………,hal. 451-452
[8] Manna’ Al-Qaththan, ………………………………………….,hal. 293

DAMSALASKA  

No comments:

Post a Comment