BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat Islam muncul pada awalnya adalah
diorong oleh sebuah cita-cita terciptanya keterpaduan antara akal dan wahyu,
rasio dan hati, agama dan logika. Geliat pemikiran yang semacam ini muncul
tatakala Islam mulai bersentuhan dengan tradisi filsafat Yunani klasik yang
berkembang di abad pertengahan.Tokoh filsof Islam pertama kali yang berusaha
untuk menyelaraskan atau mempertemukan antara akal dan wahyu adalah Al-Kindi
(801-873). Di adalah tokoh yang pertama kali merumuskan secara sistematis apa
itu filsafat Islam. Meskipun, pemikiran Al-Kindi sendiri sebenarnya masih
berbaur secara lekat dengan debu teologi.
Memang, meskipun dalam ajaran Islam, aqal
mendapatkan porsi yang cukup besar, namun dalam praktiknya umat Islam justru
banyak yang meninggalkan aqal. Kehendak umat Islam untuk jauh dari tradisi
rasionalitas itu justru dengan alasan untuk praktik keberagamaan itu sendiri.
Secara umum umat Islam mempunyai asumsi kuat bahwa Islam adalah wahyu yang
keberadaannya harus diterima secara taken for granted, sebuah produk
yang sudah sempurna sehingga pengimplementasiannya ke dalam ranah empirik tidak
memerlukan sentuhan rasionalitas lagi. Menggunakan akal atau rasionalitas dalam
praktik keberagmaan ini justru akan berpotensi mendistorsi ajaran-ajaran suci
Islam itu sendiri. Pola keberagamaan semacam ini akhirnya menimbulkan sebuah
persepsi yang timpang. Agama akhirnya diposisikan sebagai antitesis akal atau
sebaliknya akal diposisikan sebagai lawan dari agama.
Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan
filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah,
berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya,
sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki
posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi.
B.
Rumusan Masalah
1)
Aliran-aliran
apa saja yang ada dalam islam ?
2)
Siapa-siapa
saja tokoh aliran-aliran parepatetik ?
C.
Tujuan Permasahan
1.
Untuk
mengetahui aliran-aliran dalam islam
2.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN-ALIRAN
FILSAFAT DALAM ISLAM
1. Isyraqiyyah
(Illuminisme)
Filsafat
Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya
adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama
dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya
mempunyai perbedaan yang mendasar.
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini
adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn
Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward,
Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul,
seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena
pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada
waktu itu.
Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran,
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi
metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan
kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati
(nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
Aliran filsafat ini muncul dalam rangka merespon dan mengkritisi
sejumlah gagasan aristoteles yang dianggap menyimpang, khususnya sebgaimana
yang tercermin dalam filsafat ibnu sina, kalangan iluminasionis mengembangkan
sebuah pandangan tentang realitas dimana esensi lebih penting ( mendasar )
ketimbang eksistensi, dan pengetahuan intuitif lebih signifikan ketimbang
pengetahuan saintifik. Aliran ini merumuskan gagasan tentang pencahayaan sebagai
cara memahami hubungan antara tuhan, cahaya diatas cahaya, dan maakhluknya.[1]
Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan
Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam
serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak
secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filsof Timur (masyriqi).
Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina
dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang
mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik
utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah,
yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan
atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip
ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit penegasan Ibn
Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen
berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi
menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan
bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan
kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang
terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya
dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
Epistemologi Isyraqiyyah
Dalam bagian
dari jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian
dari pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah
ilmu yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman
kehidupannya. Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta
obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek
pengetahuan ini adalah istanta (instance/mishdaq) paling sempurna dari
kehadiran obyek pengetahuanb pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar
illuminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman
tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan
sesuatu. Apa yang ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman
pribadinya sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik
tertentu ia bisa mencapai realitas puncak tertinggi (ultimate reality).
Dengan demikian, metodologi untuk mendapatkan
pengetahuan ini bukanlah melalui cerapan indera, tetapi melalui pelatihan
spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam ini, saran yang dibutuhkan
adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang mencapai kebersihan
hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan pengalaman tentang realitas hakiki
(ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa atau hati (qolb)
mengalami keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan terlimpahi oleh
pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran
lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverivikasinya secara
logis rasional.
Kemudian bagaimana gambaran atau bentuk dari
penegtahuan iluminasi yang masuk kategori klhudluri ini? Secara umum sebenarnya
hampir sama dengan filsafat emanasi. Di situ terdapat tangga-tangga wujud (existence)
mulai dari wujud satu hingga sebelas. Jadi secara formal bentuknya sama dengan
filsafat emanasi dalam parepatatisme yang mendahuluinya, dalam isyraqiyyah
wujud mempunyai hirarki-hirarki, dari yang paling atas sampai terbawah. Hanya
saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek,
maka dalam filsafat Isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan
dengan nur (cahaya).
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat
paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi
bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik
selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya.
Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin
jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya
semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut
hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan
luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini
secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya.
Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama
ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke
dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga
sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam
materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya
begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang
menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia
lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom) dari nenek
moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada prinsipnya secara material,
filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam,
tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya
ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman
ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan
orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud obsesinya untuk
mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya dikatakan sebagai
filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term Hikmatul
Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini
adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur,
karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang
dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun
ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan
berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi
pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus
ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini.
Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri,
dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua,
setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di
dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah)
serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus
Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di
dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan
penulisannya.
2. Peripatetik
Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan
filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah
menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta
penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni:
Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), dan Ibn Rusyd (w.
1196).
Ini disebut era kedua sebagai era kematangan filsafat
perepatetik ( masya’yyah ) yang cenderung berporos pada mazhab Aristotelian
ketimbang platonian, karakteristik filsafat ini adalah penggunaan argumentasi
yang bersifat rasional ( burhani ) atau teologikal ( kalami ), kendati secara
pribadi, keduanya juga mempraktikan gaya hidup zuhud dan tekun dalam
beribadah.
a) Al-kindi
Nama lengkapnya abu Yusuf ya’kub ibnu ishak ibnu Al-shabbah
ibnu ‘imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu qais Al-kindi, alkindi
dinisbahkan kepada kabilah terkemuka pra islam yang merupakan cabang dari bani
kahlah yang menetap diyaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh
sastrawan yang terbesar kesustraan arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais,
yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Karena linkup pengetahuan ilmiahnya
yang luar biasa , atau mungkin juga karena alasan lain, misalnya kesesuaian
pahamnya dengan ide-ide mu’tazila, Al-makmun lalu mengajaknya bergabung dengan
kalangan cendikiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan
karya-karya yunani. Agaknya Al-kindi termasuk orang yang beruntung, ketika
dibagdad ia dengan cendikiawan Persia dan suria, yang diduga dari merekalah ia
mendapat bimbingan sehingga ia menjadi seorang diantara sedikit orang islam
Arab yang menguasai bahasa yunani dan siryani, atau kedua-duanya sekaligus.
Al-makmun menjadikan mu’tazilah
sebagai mazhab Negara dan Al-kindi juga menulis beberapa risalah tentang
keadilan, kemahaesaan tuhan dan perbuatannya, bahkan lebih jauh dari itu, ia
ikut pula membantah paham-paham yang bertentangan dengan mwzhab Negara ini
berdasarkan pemikirannya. Sungguhpun demikian, kita tidak bisa menetapkan
secara pasti bahwa bahwa Al-kindi adalah seorang mu’tazili. Hal ini disebabkan
persoalan-persoalan tentang keadilan dan kemahakuasaan Tuhan bukan hak mutlak
atau monopoli mu’tazilah saja.. seain itu seorang baru bisa disebut mu’tazili
apabila ia menerima dan meyakini lima ajaran pokoknya.
Alkindi memperoleh kedudukan yang
terhormat di sisi Al-makmum dan mustasim dan bahkan ia diangkat sebagai guru
bagi Ahmad putra al-mu’tasim, kepada siapa ia banyak memperhambakan karyanya.
Betapa pun juga Al-kindi sudah dinobatkan sebagai filosof muslim berkebangsaan
Arab yang pertama, ia layak disejajarkan dengan filosof-filosof muslim non
Arab.
Ada dua kisah menarik yang di
hubungkan dengan Al-kindi pertama,kisah tentang kekikirannya sama
terkenalnya dengan kegeniusannya,kedua kisah kepiawaiannya tentang
music.Menurutnya rasa seni bukan hanya dimiliki oleh manusia,tetapi juga
hewan.Bila seruling di tiup dengan baik,maka hewan seperti ular dan buaya akan
keluar dari tempat persembunyian dan ikut mengikuti irama seni tersebut.Begitu
pula dengan pengembala dengan suara terompetnya yang khas akan dapat memanggil
dan mengumpulkan hewan gembalanya,seperti sapi,kambing,domba,dan lainnya.Dengan
seni music ini ia telah berhasil mengobati anak tangga pedagang kaya yang
ditimpa penyakit syaraf dan tiba-tiba lumpuh,padahal tidak seorang dokterpun di
Baghdad yang mampu menyembuhkannya.[2]
MEnurut Majid Fakhri,Al-kindi memeng
seorang filosof pribumi awal,namun ia lebih merupakan seorang teolog yang punya
minat terhadap filsafat,barangkali kita dapat mengatakan bahwa al-kindi masih
berdiri digaris batas antara filsafat dan teologi,yang oleh kalangan filsuf
setelahnya berusaha lebih keras untuk diseberangi.[3]
Karya Tulisnya
Telah disebut bahwa al-kindi aktif
terlibat dalam kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia
melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain.Sebagai
penerjemahan terkemuka,tidaklah aneh sekiranya ia mendapat penghargaan dan
khalifah al-ma’mun membayar siapa saja yang sanggup menerjemahkan buku-buku
kedalam bahasa arab dengan emas seberat buku buku yang diterjemahkan.Hal ini
palingbtidak dapat dijadikan indikasi maraknya kegiatan ilmiah dan juga sebagai
motivasi pendorong bagi orang-orang untuk melakukan kegiatan tersebut.
Menurut George Atiyeh karya-karya
tulis Al-kindi dalam berbagai bidang ilmupengetahuan mencapai sebanyak 270
risalah.Risalah-risalah itu baik oleh Ibnu Nadim maupun Qifthi,dikelompokkan
dalam 17 kelompok,yaitu:
1) Filsafat
2) Logika
3) Ilmu hitung
4) Globural
5) Musik
6) Astronomi
7) Geometri
8) Sperikal
9) Medispertama
10) Astrologi
11) Dialektika
12) Psikologi
13) Politik
14) Meteorologi
15) Dimensi
16) Benda-benda pertama
17) Spesies tertentu logam dan kimia
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya
tulis Al-kindi:
·
Fi al-falsafat al-Ula
·
.Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
·
Risalat ila al-ma’mun fi al-‘lat wa Ma’lul
·
Risalah al-falsafat al-dakliat wa al-Masail al-munthiqiyyat
wa al-mu’tashah wa ma’ fauqa al-Thabi’iyyat.
·
Kamiyyat kutub Aristoteles
·
Fi al-Nafs
Pemaduan Filsafat dan Agama
Salah satu usaha Al-Kindi
memperkenalkan filsafat ke dalam dunia islam dengan cara mengetok hati umat
supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya.Menurutnya kita tidak
pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya.Bagi mereka
yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain
kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu
sendiri dan tidak pernah meremehkan martabat orang yang menerimanya.
Al-kindi telah membuka pintu bagi
penafsiran filsof terhadap Al-quran,sehingga menghasilkan persesuaian antara
wahyu dan akal,antara filsafat dan agama.lebih lanjut ia dikemukakan bahwa
pemaduan antara filsafat dan agama di dasarkan pada tiga alasan berikut:
1)
Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat
2)
Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat
saling bersesuaian
3)
Menurut ilmu,secara logika,di perintahkan dalam agama.
Al-kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang
agama yang tidak senang terhadap filsafat dan filosof.Jika ada orang yang
mengatakan bahwa filsafat tidak perlu,mereka harus memberikan argument dan
menjelaskannya.Usaha pemberian argument tersebut merupakan bagian dari
pencarian pengetahuan tentang hakikat.Untuk sampai pada yang di maksud,secara
logika,mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat,kesimpulannya bahwafilsafat
harus dimiliki dan dipelajari.
Filsafat Ketuhanan
Tujuan akhir dalam filsafat Islam
adalah untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Allah.Allah dalam
filsafat Al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah dan mahiah.Tidah
‘aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik.Dalam bentuk mahiah
karena Allah tidak merupakan genus dan species.
Berdasarkan uraian diatas ternyata
al-kindi lebih mengesahkan Allah dibandingkan dengan kaum mu’tazilah yang
selama ini dianggap demikian rasioanal.Pada penafiannya terhadap ‘aniah dan
mahiah dari kemahaesaan Allah.Akan tetapi,ketika mu’tazilah menyatakan bahwa
tuhan itu mengetahui dengan ilmunya dan zat-zatnya,berkuasa dengan kekuasaannya
dan zatnya.[4]
b) Al-Farabi
Al-farabi nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibnu
Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh,yang bisa di singkat saja menjadi
Al-farabi.Ia dilahirkan di Wasij,Distrik farab,Turkistan pada tahun 257 H/870
M.ayahnya seorang jendral kebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turky.[5]
Oleh sebab itu terkadang ia di katakana keturunan Persia dan terkadang ia
disebut keturunan turkey.Akan tetapi sesuao dengan ajaran islam,yang
mendasarkan keturunan pada pihak ayah,lebih tepat ia disebut keturunan Persia.
Sebagaimana filosof yunani,Al-farabi menguasai berbagai
disiplin ilmu.Keadaan inimemungkinkan karena didukung oleh kekuatan dan
kerajihannya serta ketajaman otaknya.Pada pihak lain dimasa itu belum ada
pemilihan dalam buku-buku antara sains dan filsafat.Oleh sebab itu,membaca satu
buku akan bersentuhan secara langsung dengan kedua ilmu tersebut.Berdasarkan
karya tulisnya,filosof muslim keturunan Persia ini menguasai
Matematika,kimia,astronomi,music,ilmu alam,logika,filsafat,filsafat,bahasa dan
lain-lain,khusus bahasa menurut riwayatnya,Al-farabi menguasai 70 bahasa.
Al-farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles,yang
dijuluki al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama),sehingga tidak mengherankan bila
ibnu sina,yang menyandang predikat al-syeik al-rais (kiyahi utama),mendapatkan
kunci dalam memahami filsafat aristoteles dari buku al-farabi,yang berjudul fi
aghradhi ma ba’d al-thabi’at.
Pandangan Al-farabi mengenai daya imajinasi layak mendapat
perhatian khusus karena peran imajinasi dalam soal kenabian dan ketuhan,
menurut Al-farabi imajinasi merupakan daya penyimpan dan penimbang, yang
bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau kesan mengenai hal-hal yang dapat
diindra setelah mereka lenyap dari indra maupun pengontrolan atas citra
tersebut dengan menyusun dan mengurainya untuk kemudian membentuk citra yang
baru.[6]
Karya-karya Al-farabi
Diantara karya tulis Al-farabi yang
terpenting adalah:
a.
Al-jam’ban Ra’yai al-hakimain
b.
Tashil al-sa’adat
c.
Maqalat fi aghradh ma ba’d al-thabi’at
d.
Risalat fi isbat al-almufaraqat
e.
‘Uyun al-Masail
f.
Ara’ Ahl al-Madinat al-fadhiat
Filsafatnya
Al-farabi telah berhasil
mereonsiliasikan beberapa ajaran filsafatsebelumnya,seperti Plato san
aristoteles dan juga antara agama da filsafat,seperti Plato dan aristoteles dan
juga antara agama dan filsafat.Oleh karena itu,ia dikenal filosof sinkretisme
yang mempercayai kesatuan filsafat.
Al-farabi berkeyakinan bahwa
filsafat yang bermacam-macam itu hakikat yang satu,yaitu sama-sama mencari
kebenaran yang satu,karena tujuan filsafat adalah memikirkan kebenaran
sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya.Justru itu
semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan,kalaupun berbeda
hanya pada lahirnya.Upayanya ini terealisasi ketika ia mendamaikan pemikiran
aristoteles dengan plato dalam bukunya yang popular al-jam’bain al-ra’yai
al-hakimain,dan antara filsafat dan agama.
Cara Al-farabi menyatukan kedua
filosof di atas adalah dengan memajukan pikiran masing-masing filosof yang
cocok dengan pemikirannya.Seperti dalam membicarakan masalah idea yang
menjadikanbahan polemic antara aristpteles dan plato.filosof yang pertama tidak
dapat membenarkannya karena,menurutnya alam idea hanya ada dalam pikiran.Sedang
filosof yangdisebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Al-farabi telah keliru menganggap
tidak terdapat perbedaan antara aristoteles dengan plato.Letak kekeliruannya
adalah ketika ia menduga bahwa buku theologia (al-rububiyat) merupakan karangan
aristoteles,padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus,yang
berisikan penetapanpenetapan alam idea yang terletak bukan pada benda.[7]
Ketuhanan
Al-farabi dalam pembahasan tentang
ketuhanan mengompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme,yakni
al-maujud al-awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada
konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
Dalam membuktikan adanya Allah
Al-farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud.Menurutnya segala yang ada ini
hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga yakni wajib alwujud
dan mu’min alwujud.
Adapun yang dimaksud dengan wajib
al-wujud wujudnya tidak bolehtidak mesti ada,ada dengan sendirinya karena
naturnya sendiri yang menghendaki wujudnya.Esensinya tidak dapat di pisahkan
dari wujud,keduanya adalah sama dan satu,ia adalah wujud yang sempurna dan
adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya.
Sementara itu yang dimaksud dengan
mu’min al wujud ialah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya.Wujud ini
jika diperkirakan tidak wujud,tidak mengakibatkan kemustahilan.Mukmin alwujud
tidak akan berubah kepada wujud actual tanpa adanya wujud yang menguatkan dan
yang menguatkan adanya itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud (Allah).
c) Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Alial-Husain ibnu abd
Allah ibnu hasan ibnu Ali ibn Sina.Dibarat popular dengan sebutan Avicenna akibat
dari terjadinya metamorphose Yahudi-Spanyol-Latin.Dengan lidah spanyol kata
ibnu diucapkan aben atau Aven.Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha
penerjemahan nashah-nashah Arab kedalam bahasa latin pada pertengahan abad
kedua belas di spanyol.
Ibni Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa disiplin
ilmu,seperti Matematika,fisika,kedokteran,astronomi,hukum dan lain-lain.Bahkan
dalam usia sepuluh tahun dia telah hafal alquran seluruhnya.
Atas keberhasilannya ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran
filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah mencapai
puncaknya,dank arena prestasinya itu,ia berhak memperoleh gelar kehormatan
dengan sebutan Al syeik ar rais (kiyahi
ulama).
Karyanya
I.
Al-Syifa,berisikan tentang uraian filsafat yang terdiri atas
empat bagian:ketuhanan,fisika, matematika dan logika.
II.
Al-Najat,berisikan keringkasan dari kitab al-syifa.Karya
tulis ini ditunjukkan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui
dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
III.
Al-qanun fi al-thibb,berisikan ilmu kedokteran yang terbagi
atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan
lain-lainnya.
IV.
Al-irsyat wa al-tanbihat,isinya mengandung uraian tentang
logika dan hikmahnya.
d) Ibnu Rusyd
Abu Al-walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn rusyd
dilahirkan di cordova,Andalus pada tahun 510 H/1126 M,sekitar lima belas tahun
wafatnay Al-ghazali ia lebih popular dengan Ibnu Rusyd.Orang barat menyebutkan
dengan nama Averrois,sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk
kakeknya,keturunannya bersasal dari keluarga terhormat yang terkenal sebagai
tokoh keilmuan.
Dalam bukunya manahij al-addillah ibnu Rusyd berusaha
membuktikan adanya Allah dengan apa yang disebutnya dalil inayah, pembuktian
adalah sebagai berikut , bahwa tatanan alam dibuktikan melalui harmoni yang
bisa dilihat pada bagian-bagiannya dan pada benda-benda yang ada didalamnya. Ia
tidak hanya harmoni permukaan dan alhir saja tetapi juga harmoni dalam batin
dan intinya, yang mengingatkan kita kepada tujuan internal yang dikatakan oleh
kant, harmoni ini bukan kebetulan sich, tetapi merupakan ciptaan tuhan yang
maha pengatur dan bijak.[8]
Suatu hal yang sangat mengagumkan
ialah hampir seluruh hidupya ia bergunakan untuk belajar membaca.Menurut Ibnu abrar,walaupun
rasanya terlalu funtastis sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah
meninggalkan berfikir dan membaca,kecuali pada malam ayahnya meninggak dan malam perkawinannya.[9]
Kesibukan Ibnu rusyd sebagai pejabat Negara,ketua mahkamah
agung,guru besar,dan kedokteran istana menggantikan Ibnu Thufail yang sudah
tua,tidak menghalanginya dalam menulis,bahkan ia sangat produktif dengan
karya-karya ilmiyah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan.[10]
3. Aliran Irfani
Aliran
Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat
supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan
sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn
Arabi.
Irfan dari kata dasar
bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda
dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang
diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk
pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas
(aql). Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah
adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari epistemologi
bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada
dibalik teks. Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang
diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan
secara logis.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga
didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani
ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan
kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui
tiga tahapan.
a.
Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus
dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari
segala sesuatu yang subhat),Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan
dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali
Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati
sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b.
Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan
limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada
tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya
sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran
dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi
merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah
kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya, yang dalam
kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri' atau pengetahuan swaobjek (self
object knowledge).
c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena
pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait
dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam
Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini
bisa diungkapkan.Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman.
"Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan
hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam
kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan,
karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat,
dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat".
4. Aliran hikmah muta’aliyah
Aliran Filsafat hikmah muta’aliyah (filsafat/teosofi
transenden), diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr
al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. Mulla
Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan ketiga aliran
filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini yaitu
Peripatetik, Iluminasi dan ‘Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di
masukkan ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631),
dengan anggota-anggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-‘Amili dan
Mir Fendiriski. Tetapi karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui
para filosof madzhab Isfahan termasuk gurunya Mir Damad, maka sejarawan
filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra dalam aliran tersendiri
yang di sebut Hikmah Muta’aliyah, Atau aliran Hikmah saja.
Al-Hikmah al-Muta’aliyah bukan saja menampilkan sintesa pemikiran, tetapi juga
memahkotai pemikiran itu dengan bukti-bukti nash, baik al-Qur’an maupun Hadis.
Karena itu, memahami pemikiran Mulla Shadra, terutama karya monumentalnya
tersebut, terlebih dahulu harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang
mengitarinya sebagaimana diutarakan di atas, meliputi :
1.
Filsafat Islam Peripatetis-Neo Platonisme yang dikembangkan
oleh Ibn Sina dan para pendukungnya.
2.
Teosofi Isyraqi (Iluminasi) Suhrawardi dan para
pengikutnya, seperti Qutb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani
3.
Doktrin gnostis (irfan) Ibn Arabi dan mereka yang
bertanggung jawab dalam penyebaran doktrin Ibn Arabi, seperti Sadr al-Din
Qunyawi serta karya-karya tokoh sufi terkemuka, antara lain Ayn Qudat Hamadani
dan Mahmud Syabistari.
4.
Ilmu Kalam Syi’ah Imamiyah
5.
Wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi SAW. Dan para Imam
Syi’ah.
Karakteristik/ciri
khas Hikmah Muta’aliyah
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, Filsafat Hikmah
Muta’aliyah tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan
aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut Epistemologis, ontologis dan
kosmologis.
- Epistemologis
Seperti aliran Iluminasionis, filsafat hikmah juga
percaya bukan hanya pada akal diskursif , tetapi juga pada pengalaman mistik.
Filsafat Isyraqi seperti telah disinggung didasarkan pada pengalaman
mistik, baru kemudian disampaikan dalam bahasa filosofis-diskursif. Namun lebih
dari itu, filsafat hikmah, seperti dikatakan Dr. Haidar Baqir, dalam
bukunya Buku Saku Filsafat Islam, menekankan bahwa pengalaman mistik
bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan
“harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public.”
- Ontologis
Atas pengaruh Ibn ‘Arabi, Mulla
Shadra juga menciptakan ajaran wahdat al-wujud, tetapi dengan perbedaan
yang cukup sidnifikan Namun sebelum kita membahas tentang konsep kesatuan
wujudnya, marilah kita bicarakan terlebih dahulu tentang keutamaan wujud, atau
apa yang disebut ishalat al-wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang
mengatakan bahwa yang utama (prinsipil) adalah esensi (mahiyyah), Mulla
Shadra mengatakan bahwa yang real, yang utama adalah wujud (eksistensi).
Wujudlah yang real, sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam pikiran
manusia saja, tidak betul-betul ada di luar pikiran, yakni pada benda-benda
eksternal.
Konsep keesaan wujud ini mirip
sekali dengan, atau barang kali diadopsi dari konsep cahaya Suhrawardi. Cahaya
menurut Suhrawardi pada hakikatnya hanyalah satu. Perbedaan cahaya yang ada
tidaklah karena perbedaan kecahayaannya. Tetapi karena pebedaan intensitasnya.
Seperti Suhrawardi, Mulla Shadra juga percaya bahwa wujud-sebagai ganti cahaya-
hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka ini
bukanlah kewujudannya, tetapi “gradasi” mereka yang berbeda-beda. Jadi wujud
Tuhan, dan wujud batu kerikil, tidaklah berbeda dari sudut kewujudannya, tetapi
berbeda dalam derajat dan gradasinya. Dan sementara Suhrawardi menjelaskan
perbedaan intensitas cahaya karena hadirnya barzakh-barzakh (barazikh)
yang menyekat di antara cahaya, maka Mulla Shadra mengatakan gradasi wujud-atau
yang terkenal dengan istilah tasykik al-wujud terjadi karena perbedaan
esensi (mahiyyah) yang dimiliki oleh tiap-tiap entitas yang ada di alam
semesta ini.
- Kosmologis
Ajaran Mulla Shadra yang berkaitan
dengan alam yang disebut “perubahan trans-substansial” ( al-harakah
al-jauhariyah) adalah teori yang menurut para ahli merupakan penemuan Mulla
Shadra yang paling orisinal karena belum pernah dikemukakan sebelumnya oleh filosof
manapun, baik Yunani (Aristoteles) maupun Muslim (misalnya Ibn Sina). Menurut
ajaran ini, perubahan bias terjadi bukan hanya pada tingkat aksidental, tetapi
juga substansial. Padahal selama ini substansi dipahami sebagai sesuatu yang
“fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah. Misalnya substansi hewan telah
“fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah menjadi yang lain. Tetapi menurut
Mulla Shadra, seperti juga Suhrawardi, substansi tidaklah begitu fixed dan
ia dapat berubah secara signifikan. Berbeda dengan para pendahulu filosofisnya,
Mulla Shadra bahkan mengatakan bahwa perubahan pada level aksidental bias
terjadi hanya apabila ada perubahan pada substansi.[11]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
a. Isyraqiyyah (Illuminisme)
Filsafat
Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar
epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang
dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara
substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
b. Peripatetik
Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan
filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah
menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta
penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni:
Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), dan Ibn Rusyd (w.
1196).
c. Aliran irfani
Aliran
Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat
supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan
sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn
Arabi.
d. Aliran
hikmah muta’aliyah
Aliran Filsafat hikmah muta’aliyah (filsafat/teosofi
transenden), diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr
al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. Mulla
Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan ketiga aliran
filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini yaitu
Peripatetik, Iluminasi dan ‘Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di
masukkan ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631),
dengan anggota-anggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-‘Amili dan
Mir Fendiriski. Tetapi karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui
para filosof madzhab Isfahan termasuk gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat
Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra dalam aliran tersendiri yang di
sebut Hikmah Muta’aliyah, Atau aliran Hikmah saja.
Tokoh-tokoh
peripatetik
·
Ibnu sina
·
Ibnu rusyd
·
Al-farabi
·
Al-kindi
[1]
Muhsin labib, para filosof , ( Jakarta : Al-huda, 2005 ), hal. 38
[2]
M,M.Syarif,Alam pemikiran islam,peranan Umat islam dalam pengembangan ilmu
pengetahuan,Terj.Fuad Muh,Fakhruddin,(Bandung:Dipenogoro,1979),cet II,hlm.81
[3]
Muhsin Labib,Para Filosof Sebelum dan
sesudah Mulla Shadra (2005).hlm.36
[4]
Harun Nasution,Filsafat dan Misticme dalam islam,(Jakarta:Bulan
Bintang,1973),hlm.16
[5]
Muhammad Ali Abu Rayyan,Al-Falsafat al-islamiyah syakhiyatuhu wa mazahibuha,
(tt:Mk.Iskandariyat)hlm.367
[6][6]
Seyyed hossein nasr oliver leaman, ensiklopedi tematis filsafat islam, ( bandung : mizan, 1996 ), hal. 231
[7]
Hana Al-fakhury dan khalil Al-Jarr,Tharik al-falsafat
al-arabiyah,(Berikut:Mu’assasat li al-taba’at wa al-nasyr,1963).cet.II,hlm 387
[8]
Dr. Ibrahim madkour, aliran dan teori filsafat islam, ( Jakarta : bumi aksara,
2004 ) hal, 119
[9]
Ahmad fuad Al-Ahwany<al-Falsafat al-islamiyah,(Kairo:Maktabat
al-Saqafiyyat,1992)hlm.100
[10]
Prof.dr.H.Sirajuddin zar,M.A.Filsafat islam (padang:Rajawali Pers,2004) hlm 222
[11] www.google.com,Aliran-aliran Filsafat
dalam Islam,(Banda Aceh,2012),sabtu tgl.03 november 2012.
DAMS ALASKA
No comments:
Post a Comment