Wednesday, February 18, 2015

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filsafat Islam muncul pada awalnya adalah diorong oleh sebuah cita-cita terciptanya keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati, agama dan logika. Geliat pemikiran yang semacam ini muncul tatakala Islam mulai bersentuhan dengan tradisi filsafat Yunani klasik yang berkembang di abad pertengahan.Tokoh filsof Islam pertama kali yang berusaha untuk menyelaraskan atau mempertemukan antara akal dan wahyu adalah Al-Kindi (801-873). Di adalah tokoh yang pertama kali merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam. Meskipun, pemikiran Al-Kindi sendiri sebenarnya masih berbaur secara lekat dengan debu teologi.
Memang, meskipun dalam ajaran Islam, aqal mendapatkan porsi yang cukup besar, namun dalam praktiknya umat Islam justru banyak yang meninggalkan aqal. Kehendak umat Islam untuk jauh dari tradisi rasionalitas itu justru dengan alasan untuk praktik keberagamaan itu sendiri. Secara umum umat Islam mempunyai asumsi kuat bahwa Islam adalah wahyu yang keberadaannya harus diterima secara taken for granted, sebuah produk yang sudah sempurna sehingga pengimplementasiannya ke dalam ranah empirik tidak memerlukan sentuhan rasionalitas lagi. Menggunakan akal atau rasionalitas dalam praktik keberagmaan ini justru akan berpotensi mendistorsi ajaran-ajaran suci Islam itu sendiri. Pola keberagamaan semacam ini akhirnya menimbulkan sebuah persepsi yang timpang. Agama akhirnya diposisikan sebagai antitesis akal atau sebaliknya akal diposisikan sebagai lawan dari agama.
Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi.
  
B.     Rumusan Masalah
1)      Aliran-aliran apa saja yang ada dalam islam ?
2)      Siapa-siapa saja tokoh aliran-aliran parepatetik ?

C.     Tujuan Permasahan
1.      Untuk mengetahui aliran-aliran dalam islam
2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam islam


BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM

1.      Isyraqiyyah (Illuminisme)
            Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu.
Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
Aliran filsafat ini muncul dalam rangka merespon dan mengkritisi sejumlah gagasan aristoteles yang dianggap menyimpang, khususnya sebgaimana yang tercermin dalam filsafat ibnu sina, kalangan iluminasionis mengembangkan sebuah pandangan tentang realitas dimana esensi lebih penting ( mendasar ) ketimbang eksistensi, dan pengetahuan intuitif lebih signifikan ketimbang pengetahuan saintifik. Aliran ini merumuskan gagasan tentang pencahayaan sebagai cara memahami hubungan antara tuhan, cahaya diatas cahaya, dan maakhluknya.[1]
Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filsof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah). 

Epistemologi Isyraqiyyah
            Dalam bagian dari jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya. Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan ini adalah istanta (instance/mishdaq) paling sempurna dari kehadiran obyek pengetahuanb pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar illuminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Apa yang ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu ia bisa mencapai realitas puncak tertinggi (ultimate reality).
Dengan demikian, metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui cerapan indera, tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam ini, saran yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang mencapai kebersihan hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan pengalaman tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa atau hati (qolb) mengalami keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan terlimpahi oleh pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverivikasinya secara logis rasional.
Kemudian bagaimana gambaran atau bentuk dari penegtahuan iluminasi yang masuk kategori klhudluri ini? Secara umum sebenarnya hampir sama dengan filsafat emanasi. Di situ terdapat tangga-tangga wujud (existence) mulai dari wujud satu hingga sebelas. Jadi secara formal bentuknya sama dengan filsafat emanasi dalam parepatatisme yang mendahuluinya, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hirarki-hirarki, dari yang paling atas sampai terbawah. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek, maka dalam filsafat Isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya).
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.

2.      Peripatetik
Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), dan Ibn Rusyd (w. 1196).
Ini disebut era kedua sebagai era kematangan filsafat perepatetik ( masya’yyah ) yang cenderung berporos pada mazhab Aristotelian ketimbang platonian, karakteristik filsafat ini adalah penggunaan argumentasi yang bersifat rasional ( burhani ) atau teologikal ( kalami ), kendati secara pribadi, keduanya juga mempraktikan gaya hidup zuhud dan tekun dalam beribadah. 

a)      Al-kindi
Nama lengkapnya abu Yusuf ya’kub ibnu ishak ibnu Al-shabbah ibnu ‘imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu qais Al-kindi, alkindi dinisbahkan kepada kabilah terkemuka pra islam yang merupakan cabang dari bani kahlah yang menetap diyaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesustraan arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan kindah setelah pembunuhan ayahnya.
            Karena linkup pengetahuan ilmiahnya yang luar biasa , atau mungkin juga karena alasan lain, misalnya kesesuaian pahamnya dengan ide-ide mu’tazila, Al-makmun lalu mengajaknya bergabung dengan kalangan cendikiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan karya-karya yunani. Agaknya Al-kindi termasuk orang yang beruntung, ketika dibagdad ia dengan cendikiawan Persia dan suria, yang diduga dari merekalah ia mendapat bimbingan sehingga ia menjadi seorang diantara sedikit orang islam Arab yang menguasai bahasa yunani dan siryani, atau kedua-duanya sekaligus.
            Al-makmun menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab Negara dan Al-kindi juga menulis beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaan tuhan dan perbuatannya, bahkan lebih jauh dari itu, ia ikut pula membantah paham-paham yang bertentangan dengan mwzhab Negara ini berdasarkan pemikirannya. Sungguhpun demikian, kita tidak bisa menetapkan secara pasti bahwa bahwa Al-kindi adalah seorang mu’tazili. Hal ini disebabkan persoalan-persoalan tentang keadilan dan kemahakuasaan Tuhan bukan hak mutlak atau monopoli mu’tazilah saja.. seain itu seorang baru bisa disebut mu’tazili apabila ia menerima dan meyakini lima ajaran pokoknya.
            Alkindi memperoleh kedudukan yang terhormat di sisi Al-makmum dan mustasim dan bahkan ia diangkat sebagai guru bagi Ahmad putra al-mu’tasim, kepada siapa ia banyak memperhambakan karyanya. Betapa pun juga Al-kindi sudah dinobatkan sebagai filosof muslim berkebangsaan Arab yang pertama, ia layak disejajarkan dengan filosof-filosof muslim non Arab.
            Ada dua kisah menarik yang di hubungkan dengan Al-kindi pertama,kisah tentang kekikirannya sama terkenalnya dengan kegeniusannya,kedua kisah kepiawaiannya tentang music.Menurutnya rasa seni bukan hanya dimiliki oleh manusia,tetapi juga hewan.Bila seruling di tiup dengan baik,maka hewan seperti ular dan buaya akan keluar dari tempat persembunyian dan ikut mengikuti irama seni tersebut.Begitu pula dengan pengembala dengan suara terompetnya yang khas akan dapat memanggil dan mengumpulkan hewan gembalanya,seperti sapi,kambing,domba,dan lainnya.Dengan seni music ini ia telah berhasil mengobati anak tangga pedagang kaya yang ditimpa penyakit syaraf dan tiba-tiba lumpuh,padahal tidak seorang dokterpun di Baghdad yang mampu menyembuhkannya.[2]
            MEnurut Majid Fakhri,Al-kindi memeng seorang filosof pribumi awal,namun ia lebih merupakan seorang teolog yang punya minat terhadap filsafat,barangkali kita dapat mengatakan bahwa al-kindi masih berdiri digaris batas antara filsafat dan teologi,yang oleh kalangan filsuf setelahnya berusaha lebih keras untuk diseberangi.[3]

Karya Tulisnya
            Telah disebut bahwa al-kindi aktif terlibat dalam kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain.Sebagai penerjemahan terkemuka,tidaklah aneh sekiranya ia mendapat penghargaan dan khalifah al-ma’mun membayar siapa saja yang sanggup menerjemahkan buku-buku kedalam bahasa arab dengan emas seberat buku buku yang diterjemahkan.Hal ini palingbtidak dapat dijadikan indikasi maraknya kegiatan ilmiah dan juga sebagai motivasi pendorong bagi orang-orang untuk melakukan kegiatan tersebut.
            Menurut George Atiyeh karya-karya tulis Al-kindi dalam berbagai bidang ilmupengetahuan mencapai sebanyak 270 risalah.Risalah-risalah itu baik oleh Ibnu Nadim maupun Qifthi,dikelompokkan dalam 17 kelompok,yaitu:
1)      Filsafat
2)      Logika
3)      Ilmu hitung
4)      Globural
5)      Musik
6)      Astronomi
7)      Geometri
8)      Sperikal
9)      Medispertama
10)  Astrologi
11)  Dialektika
12)  Psikologi
13)  Politik
14)  Meteorologi
15)  Dimensi
16)  Benda-benda pertama
17)  Spesies tertentu logam dan kimia
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-kindi:
·         Fi al-falsafat al-Ula
·         .Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
·         Risalat ila al-ma’mun fi al-‘lat wa Ma’lul
·         Risalah al-falsafat al-dakliat wa al-Masail al-munthiqiyyat wa al-mu’tashah wa ma’ fauqa al-Thabi’iyyat.
·         Kamiyyat kutub Aristoteles
·         Fi al-Nafs

Pemaduan Filsafat dan Agama
            Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya.Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya.Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan martabat orang yang menerimanya.
            Al-kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filsof terhadap Al-quran,sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal,antara filsafat dan agama.lebih lanjut ia dikemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama di dasarkan pada tiga alasan berikut:
1)      Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat
2)      Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian
3)      Menurut ilmu,secara logika,di perintahkan dalam agama.
Al-kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang tidak senang terhadap filsafat dan filosof.Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu,mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya.Usaha pemberian argument tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat.Untuk sampai pada yang di maksud,secara logika,mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat,kesimpulannya bahwafilsafat harus dimiliki dan dipelajari.

Filsafat Ketuhanan
            Tujuan akhir dalam filsafat Islam adalah untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Allah.Allah dalam filsafat Al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah dan mahiah.Tidah ‘aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik.Dalam bentuk mahiah karena Allah tidak merupakan genus dan species.
            Berdasarkan uraian diatas ternyata al-kindi lebih mengesahkan Allah dibandingkan dengan kaum mu’tazilah yang selama ini dianggap demikian rasioanal.Pada penafiannya terhadap ‘aniah dan mahiah dari kemahaesaan Allah.Akan tetapi,ketika mu’tazilah menyatakan bahwa tuhan itu mengetahui dengan ilmunya dan zat-zatnya,berkuasa dengan kekuasaannya dan zatnya.[4]
b)     Al-Farabi
Al-farabi nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh,yang bisa di singkat saja menjadi Al-farabi.Ia dilahirkan di Wasij,Distrik farab,Turkistan pada tahun 257 H/870 M.ayahnya seorang jendral kebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turky.[5] Oleh sebab itu terkadang ia di katakana keturunan Persia dan terkadang ia disebut keturunan turkey.Akan tetapi sesuao dengan ajaran islam,yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah,lebih tepat ia disebut keturunan Persia.
Sebagaimana filosof yunani,Al-farabi menguasai berbagai disiplin ilmu.Keadaan inimemungkinkan karena didukung oleh kekuatan dan kerajihannya serta ketajaman otaknya.Pada pihak lain dimasa itu belum ada pemilihan dalam buku-buku antara sains dan filsafat.Oleh sebab itu,membaca satu buku akan bersentuhan secara langsung dengan kedua ilmu tersebut.Berdasarkan karya tulisnya,filosof muslim keturunan Persia ini menguasai Matematika,kimia,astronomi,music,ilmu alam,logika,filsafat,filsafat,bahasa dan lain-lain,khusus bahasa menurut riwayatnya,Al-farabi menguasai 70 bahasa.
Al-farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles,yang dijuluki al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama),sehingga tidak mengherankan bila ibnu sina,yang menyandang predikat al-syeik al-rais (kiyahi utama),mendapatkan kunci dalam memahami filsafat aristoteles dari buku al-farabi,yang berjudul fi aghradhi ma ba’d al-thabi’at.
Pandangan Al-farabi mengenai daya imajinasi layak mendapat perhatian khusus karena peran imajinasi dalam soal kenabian dan ketuhan, menurut Al-farabi imajinasi merupakan daya penyimpan dan penimbang, yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap dari indra maupun pengontrolan atas citra tersebut dengan menyusun dan mengurainya untuk kemudian membentuk citra yang baru.[6]
Karya-karya Al-farabi
            Diantara karya tulis Al-farabi yang terpenting adalah:
a.       Al-jam’ban Ra’yai al-hakimain
b.      Tashil al-sa’adat
c.       Maqalat fi aghradh ma ba’d al-thabi’at
d.      Risalat fi isbat al-almufaraqat
e.       ‘Uyun al-Masail
f.       Ara’ Ahl al-Madinat al-fadhiat
Filsafatnya
            Al-farabi telah berhasil mereonsiliasikan beberapa ajaran filsafatsebelumnya,seperti Plato san aristoteles dan juga antara agama da filsafat,seperti Plato dan aristoteles dan juga antara agama dan filsafat.Oleh karena itu,ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.
            Al-farabi berkeyakinan bahwa filsafat yang bermacam-macam itu hakikat yang satu,yaitu sama-sama mencari kebenaran yang satu,karena tujuan filsafat adalah memikirkan kebenaran sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya.Justru itu semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan,kalaupun berbeda hanya pada lahirnya.Upayanya ini terealisasi ketika ia mendamaikan pemikiran aristoteles dengan plato dalam bukunya yang popular al-jam’bain al-ra’yai al-hakimain,dan antara filsafat dan agama.
            Cara Al-farabi menyatukan kedua filosof di atas adalah dengan memajukan pikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya.Seperti dalam membicarakan masalah idea yang menjadikanbahan polemic antara aristpteles dan plato.filosof yang pertama tidak dapat membenarkannya karena,menurutnya alam idea hanya ada dalam pikiran.Sedang filosof yangdisebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
            Al-farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara aristoteles dengan plato.Letak kekeliruannya adalah ketika ia menduga bahwa buku theologia (al-rububiyat) merupakan karangan aristoteles,padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus,yang berisikan penetapanpenetapan alam idea yang terletak bukan pada benda.[7]

Ketuhanan
            Al-farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme,yakni al-maujud al-awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
            Dalam membuktikan adanya Allah Al-farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud.Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga yakni wajib alwujud dan mu’min alwujud.
            Adapun yang dimaksud dengan wajib al-wujud wujudnya tidak bolehtidak mesti ada,ada dengan sendirinya karena naturnya sendiri yang menghendaki wujudnya.Esensinya tidak dapat di pisahkan dari wujud,keduanya adalah sama dan satu,ia adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya.
            Sementara itu yang dimaksud dengan mu’min al wujud ialah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya.Wujud ini jika diperkirakan tidak wujud,tidak mengakibatkan kemustahilan.Mukmin alwujud tidak akan berubah kepada wujud actual tanpa adanya wujud yang menguatkan dan yang menguatkan adanya itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud (Allah).
c)      Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Alial-Husain ibnu abd Allah ibnu hasan ibnu Ali ibn Sina.Dibarat popular dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorphose Yahudi-Spanyol-Latin.Dengan lidah spanyol kata ibnu diucapkan aben atau Aven.Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan nashah-nashah Arab kedalam bahasa latin pada pertengahan abad kedua belas di spanyol.
Ibni Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu,seperti Matematika,fisika,kedokteran,astronomi,hukum dan lain-lain.Bahkan dalam usia sepuluh tahun dia telah hafal alquran seluruhnya.
Atas keberhasilannya ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah mencapai puncaknya,dank arena prestasinya itu,ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan Al syeik ar rais (kiyahi  ulama).
Karyanya
       I.            Al-Syifa,berisikan tentang uraian filsafat yang terdiri atas empat bagian:ketuhanan,fisika, matematika dan logika.
    II.            Al-Najat,berisikan keringkasan dari kitab al-syifa.Karya tulis ini ditunjukkan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
 III.            Al-qanun fi al-thibb,berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya.
 IV.            Al-irsyat wa al-tanbihat,isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmahnya.

d)     Ibnu Rusyd
Abu Al-walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn rusyd dilahirkan di cordova,Andalus pada tahun 510 H/1126 M,sekitar lima belas tahun wafatnay Al-ghazali ia lebih popular dengan Ibnu Rusyd.Orang barat menyebutkan dengan nama Averrois,sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya,keturunannya bersasal dari keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuan.
Dalam bukunya manahij al-addillah ibnu Rusyd berusaha membuktikan adanya Allah dengan apa yang disebutnya dalil inayah, pembuktian adalah sebagai berikut , bahwa tatanan alam dibuktikan melalui harmoni yang bisa dilihat pada bagian-bagiannya dan pada benda-benda yang ada didalamnya. Ia tidak hanya harmoni permukaan dan alhir saja tetapi juga harmoni dalam batin dan intinya, yang mengingatkan kita kepada tujuan internal yang dikatakan oleh kant, harmoni ini bukan kebetulan sich, tetapi merupakan ciptaan tuhan yang maha pengatur dan bijak.[8]
            Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupya ia bergunakan untuk belajar membaca.Menurut Ibnu abrar,walaupun rasanya terlalu funtastis sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berfikir dan membaca,kecuali pada malam ayahnya meninggak dan  malam perkawinannya.[9]
            Kesibukan Ibnu rusyd sebagai pejabat Negara,ketua mahkamah agung,guru besar,dan kedokteran istana menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua,tidak menghalanginya dalam menulis,bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiyah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan.[10]
  
3.    Aliran Irfani
Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
 Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada dibalik teks. Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis.
             Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan.
a. Persiapan
            Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat),Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
            Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya, yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri' atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
 c. Pengungkapan
           Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman.
           "Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat".

4.      Aliran hikmah muta’aliyah
Aliran Filsafat hikmah muta’aliyah (filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini yaitu Peripatetik, Iluminasi dan ‘Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di masukkan ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631), dengan anggota-anggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-‘Amili dan Mir Fendiriski.  Tetapi karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui para filosof madzhab Isfahan termasuk gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra dalam aliran tersendiri yang di sebut Hikmah Muta’aliyah, Atau aliran Hikmah saja.
Al-Hikmah al-Muta’aliyah bukan saja menampilkan sintesa pemikiran, tetapi juga memahkotai pemikiran itu dengan bukti-bukti nash, baik al-Qur’an maupun Hadis. Karena itu, memahami pemikiran Mulla Shadra, terutama karya monumentalnya tersebut, terlebih dahulu harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagaimana diutarakan di atas, meliputi :
1.      Filsafat Islam Peripatetis-Neo Platonisme yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan para pendukungnya.
2.      Teosofi Isyraqi (Iluminasi) Suhrawardi dan para pengikutnya, seperti Qutb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani
3.      Doktrin gnostis (irfan) Ibn Arabi dan mereka yang bertanggung jawab dalam penyebaran doktrin Ibn Arabi, seperti Sadr al-Din Qunyawi serta karya-karya tokoh sufi terkemuka, antara lain Ayn Qudat Hamadani dan Mahmud Syabistari.
4.      Ilmu Kalam Syi’ah Imamiyah
5.      Wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi SAW. Dan para Imam Syi’ah.

Karakteristik/ciri khas Hikmah Muta’aliyah
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, Filsafat Hikmah Muta’aliyah tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut Epistemologis, ontologis dan kosmologis.

  1. Epistemologis
Seperti aliran Iluminasionis, filsafat hikmah juga percaya bukan hanya pada akal diskursif , tetapi juga pada pengalaman mistik. Filsafat Isyraqi  seperti telah disinggung didasarkan pada pengalaman mistik, baru kemudian disampaikan dalam bahasa filosofis-diskursif. Namun lebih dari itu, filsafat hikmah, seperti dikatakan Dr. Haidar Baqir, dalam bukunya Buku Saku Filsafat Islam, menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public.”
  1. Ontologis
Atas pengaruh Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra juga menciptakan ajaran wahdat al-wujud, tetapi dengan perbedaan yang cukup sidnifikan Namun sebelum kita membahas tentang konsep kesatuan wujudnya, marilah kita bicarakan terlebih dahulu tentang keutamaan wujud, atau apa yang disebut ishalat al-wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa yang utama (prinsipil) adalah esensi (mahiyyah), Mulla Shadra mengatakan bahwa yang real, yang utama adalah wujud (eksistensi). Wujudlah yang real, sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam pikiran manusia saja, tidak betul-betul ada di luar pikiran, yakni pada benda-benda eksternal.
Konsep keesaan wujud ini mirip sekali dengan, atau barang kali diadopsi dari konsep cahaya Suhrawardi. Cahaya menurut Suhrawardi pada hakikatnya hanyalah satu. Perbedaan cahaya yang ada tidaklah karena perbedaan kecahayaannya. Tetapi karena pebedaan intensitasnya. Seperti Suhrawardi, Mulla Shadra juga percaya bahwa wujud-sebagai ganti cahaya- hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka ini bukanlah kewujudannya, tetapi “gradasi” mereka yang berbeda-beda. Jadi wujud Tuhan, dan wujud batu kerikil, tidaklah berbeda dari sudut kewujudannya, tetapi berbeda dalam derajat dan gradasinya. Dan sementara Suhrawardi menjelaskan perbedaan intensitas cahaya karena hadirnya barzakh-barzakh (barazikh) yang menyekat di antara cahaya, maka Mulla Shadra mengatakan gradasi wujud-atau yang terkenal dengan istilah tasykik al-wujud terjadi karena perbedaan esensi (mahiyyah) yang dimiliki oleh tiap-tiap entitas yang ada di alam semesta ini.
  1. Kosmologis
Ajaran Mulla Shadra yang berkaitan dengan alam yang disebut “perubahan trans-substansial” ( al-harakah al-jauhariyah) adalah teori yang menurut para ahli merupakan penemuan Mulla Shadra yang paling orisinal karena belum pernah dikemukakan sebelumnya oleh filosof manapun, baik Yunani (Aristoteles) maupun Muslim (misalnya Ibn Sina). Menurut ajaran ini, perubahan bias terjadi bukan hanya pada tingkat aksidental, tetapi juga substansial. Padahal selama ini substansi dipahami sebagai sesuatu yang “fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah. Misalnya substansi hewan telah “fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah menjadi yang lain. Tetapi menurut Mulla Shadra, seperti juga Suhrawardi, substansi tidaklah begitu fixed dan ia dapat berubah secara signifikan. Berbeda dengan para pendahulu filosofisnya, Mulla Shadra bahkan mengatakan bahwa perubahan pada level aksidental bias terjadi hanya apabila ada perubahan pada substansi.[11]


BAB III
 PENUTUP
KESIMPULAN

a. Isyraqiyyah (Illuminisme)
            Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
b. Peripatetik
Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), dan Ibn Rusyd (w. 1196).
c. Aliran irfani
Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
d. Aliran hikmah muta’aliyah
Aliran Filsafat hikmah muta’aliyah (filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini yaitu Peripatetik, Iluminasi dan ‘Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di masukkan ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631), dengan anggota-anggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-‘Amili dan Mir Fendiriski.  Tetapi karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui para filosof madzhab Isfahan termasuk gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra dalam aliran tersendiri yang di sebut Hikmah Muta’aliyah, Atau aliran Hikmah saja.

Tokoh-tokoh peripatetik
·         Ibnu sina
·         Ibnu rusyd
·         Al-farabi
·         Al-kindi


[1] Muhsin labib, para filosof , ( Jakarta : Al-huda, 2005 ), hal. 38
[2] M,M.Syarif,Alam pemikiran islam,peranan Umat islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan,Terj.Fuad Muh,Fakhruddin,(Bandung:Dipenogoro,1979),cet II,hlm.81
[3] Muhsin Labib,Para Filosof  Sebelum dan sesudah Mulla Shadra (2005).hlm.36
[4] Harun Nasution,Filsafat dan Misticme dalam islam,(Jakarta:Bulan Bintang,1973),hlm.16
[5] Muhammad Ali Abu Rayyan,Al-Falsafat al-islamiyah syakhiyatuhu wa mazahibuha, (tt:Mk.Iskandariyat)hlm.367
[6][6] Seyyed hossein nasr oliver leaman, ensiklopedi tematis filsafat  islam, ( bandung : mizan, 1996 ), hal. 231
[7] Hana Al-fakhury dan khalil Al-Jarr,Tharik al-falsafat al-arabiyah,(Berikut:Mu’assasat li al-taba’at wa al-nasyr,1963).cet.II,hlm 387
[8] Dr. Ibrahim madkour, aliran dan teori filsafat islam, ( Jakarta : bumi aksara, 2004 ) hal, 119
[9] Ahmad fuad Al-Ahwany<al-Falsafat al-islamiyah,(Kairo:Maktabat al-Saqafiyyat,1992)hlm.100
[10] Prof.dr.H.Sirajuddin zar,M.A.Filsafat islam (padang:Rajawali Pers,2004) hlm 222
[11] www.google.com,Aliran-aliran Filsafat dalam Islam,(Banda Aceh,2012),sabtu tgl.03 november 2012.

DAMS ALASKA

No comments:

Post a Comment