BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring waktu yang terus berputar tanpa henti, hingga semakin hari semakin
banyak perubahan yang terjadi dalam
perjalanan anak manusia, tentu semua itu tak terlepas dari adanya karunia yang
terbesar, yakni adanya akal dalam diri manusia.
Perlu kita ketahui bahwa akal maupun hukum akal merupakan nikmat terbesar yang Allah letakkan pada otak manusia dengan segala ciri
yang istimewa. Dengan adanya sifat ini, berbedalah manusia itu daripada makhluk-makhluk
lain seperti hewan. Dengan kata lain, dengan adanya akal, termulialah manusia
ini dibandingkan dengan makhluk lain di muka bumi Tuhan ini.
Maka dari maksud tersebut, dalam makalah ini menyajikan berbagai
permasalahan yang menyangkut dengan ‘hukum akal’, baik pengertian mengenai akal
itu sendiri, hukum akal dan hal lain yang akan menggugah hati dan jiwa untuk
senantiasa meningkatkan daya fikir dalam mengarungi dunia yang dipenuhi dengan
berbagai tantangan dan liku yang penuh dengan onak berduri.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang beberapa hal yang berkaitan
dengan “Hukum Akal”, baik pengertian, pembagian, dan beberapa hal lainnya yang kerap menjadi
pembahasan dalam ruang lingkup hukum akal.
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun
tujuan dalam pembahasan makalah ini adalah agar kita
selaku manusia yang menjadi khalifah dimuka bumi dapat memahami dengan baik dan benar akan apa
yang harus kita lakukan dengan nikmat
akal yang telah di anugrahkan kepada kita.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian akal
Akal berasal dari bahasa Arab
'aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap
sesuatu.[1] Pengertian lain dari akal adalah daya pikir
(untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau
merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. Dengan akal, dapat melihat diri
sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan
sekeliling, juga dapat mengembangkan konsepsi-konsepsi mengenai
watak dan keadaan diri
kita sendiri, serta melakukan tindakan berjaga-jaga terhadap rasa ketidak pastian
yang esensial hidup ini.
Akal juga bisa berarti jalan atau cara
melakukan sesuatu, daya upaya, dan ikhtiar. Akal juga mempunyai konotasi
negatif sebagai alat untuk melakukan tipu daya, muslihat, kecerdikan,
kelicikan.
Akal fikiran tidak hanya digunakan untuk sekedar makan, tidur, dan
berkembang biak, tetapi akal juga mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang
asal-usul, alam dan masa yang akan datang. Kemampuan berfikir mengantarkan pada
suatu kesadaran tentang betapa tidak kekal dan betapa tidak pastinya kehidupan ini.
Orang yang berakal
adalah orang yang mampu mengikat atau mengendalikan hawa nafsunya. Kemampuan
seseorang untuk mengikat hawa nafsu, akan menempatkan hawa nafsu pada posisi
yang serendah-rendahnya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya, ia
akan mampu memahami wahyu sebagai kebenaran. Orang yang tidak mampu menawan
hawa nafsunya tidak akan mampu mengendalikan dirinya.
Selanjutnya akal
mengandung arti kebijaksanaan, pemahaman.
Ada pula yang mengartikan akal dengan pembatasan dan pencegahan, perlindungan
atau kemampuan seseorang untuk menemukan dirinya sendiri. Di sini diartikan
orang berakal adalah orang yang mampu membatasi dan mencegah hawa nafsunya
serta memberikan perlindungan sampai pada batas-batas yang diperlukan. Dengan
demikian akal akan mampu melihat kebenaran. Nampaknya bahwa hawa nafsu tidak
dihilangkan sama sekali, sebab ia diperlukan dalam kadar tertentu. Dalam
batas-batas itulah di bawah kendali akal seseorang akan mampu menemukan jati
dirinya. Pada zaman jahiliyah, kata akal dipakai dalam arti kecerdasan praktis,
dalam istilah psikologi modern di sebut sebagai kemampuan memecahkan masalah.
Orang berakal adalah orang yang mempunyai kemampuan atau keterampilan
menyelesaikan masalah, kapanpun masalah itu timbul ia akan mampu menyelesaikan
dan mengatasinya, sehingga ia akan dapat menghindari dari bahaya itu, kemampuan
praktis seperti ini sangat dihargai oleh orang Arab zaman Jahiliyah
2.
Peranan akal
Begitulah peranan akal
yang jika digunakan sungguh-sungguh, membawa manusia mendapat manfaat
daripadanya dan menjadi lebih mulia
daripada makhluk yang lain.
Di samping itu,
manusialah yang dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang memerlukan
pemikiran-pemikiran, Ilmu-ilmu tersebut kalau tidak difikirkan, tidak akan
dapat diperoleh. Tetapi karena manusia memiliki akal, maka dapat memikirkan ilmu-ilmu
pengetahuan tersebut.
Oleh karena itu, hari ini bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang telah diperoleh manusia seperti ilmu alam, ilmu hisab, ilmu sains dan
teknologi, ilmu kaji bumi, ilmu psikologi, dan bermacam-macam ilmu pengetahuan
lain. Kalau tidak ada akal, manusia tidak mungkin memperoleh semua ilmu
itu.Kemudian, dengan akal itu pula manusia dapat memikirkan kerja-kerja yang
sulit dan yang halus. Hingga dapat menyusunnya dengan sebaik-baiknya.
Jadi, kita dapat
memahami bahwa berawal dari akal itulah terbitnya segala manfaat dan kebajikan
yang semua itu akan memberikan kebahagiaan kepada manusia. Walau
bagaimanapun caranya manusia dapat menggunakan akalnya itu dengan
sebaik-baiknya dengan dipandu oleh syariat. Kalau tidak, manusia bisa
rusak binasa terutama rusak aqidahnya.
Samahalnya seperti
peranan senjata api, yang dapat memberi manfaat kepada kita dengan syarat kita
pandai menggunakannya. Misalnya, kalau datang musuh, perampok dan sebagainya,
kita dapat mempertahankan diri dengan senjata api. Tetapi kalau kita tidak
mampu menggunakannya, maka ia bisa merusakkan kita.
Begitulah dengan akal,
kalau manusia menyalahgunakannya, rusaklah muka bumi ini, dan binasalah kehidupan
manusia seluruhnya, terwujudlah huru-hara di atas bumi ALLAH ini, dan akan
terjadilah sebagaimana yang ALLAH gambarkan:
Terjemahannya: Akan
lahirlah kerusakan di daratan dan di lautan akibat daripada usaha manusia itu
sendiri (Ar Rum: 41)
3.
Hukum Akal
Yaitu penentapan suatu perkara atas
perkara yang lainnya atau penolakan suatu perkara kepada perkara lainnya, dan
dalam menetapkan atau menolak hukum(perkara) tersebut tidak membutuhkan
uji coba yang berulang-ulang dan tidak membutuhkan sandaran
(wadla’). Seperti menetapkan 1+1 = 2. Begitu juga dalam hal-hal lain yang
seumpama ini. Akal lah yang menetapkan hukum itu, bukan adat dan bukan juga
syarak. Apabila hukum itu ditetapkan oleh syarak, ia ber-sumberkan Al Quran dan
hadis. Tetapi dalam hal-hal seperti tadi, akal saja yang menetapkannya.[2]
Kemudian, hukum akal ini tidak perlu di uji coba.
Umpamanya, hukum akal yang menetapkan bahawa ayah itu lebih tua daripada anak,
tidak perlu dicoba seperti kita banding-bandingkan antara anak dan ayah. Tak
perlu dibuat demikian karana secara spontan akal menerima bahwa anak itu lebih
muda daripada ayah, atau ayah itu lebih tua daripada anak. Jadi, hukum akal lah
yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak tak perlu diuji coba
kembali.
4.
Pembagian hukum akal
Hukum akal terbagi 3, yakni:
a.
Wajib (diterima
akal)
b.
Mustahil (ditolak
akal )
c.
Harus (boleh
diterima atau ditolak akal)
A. Hukum akal yang wajib terbagi menjadi 2, yakni:
1.
Wajib Dhoruri
(ﻱ ﺮﻭﺭ ﺿ )
Yaitu
apa yang diterima akal itu tidak perlu difikir maupun dibuktikan karana sudah
jelas logikanya. Contohnya, setiap benda
mesti ada gerak dan diam. Jika tidak gerak berarti ia diam. Jika tidak diam
berarti ia bergerak. Akal menerima ini tanpa perlu difikirkan.
2.
Wajib Nazhari
(ﻱﺮﻈ ﻧ)
Yaitu
apa yang diterima akal setelah berfikir, dibahas, diuraikan dengan bukti-bukti
lalu difahami dan diyakini kebenarannya. Contohnya, mempelajari sifat-sifat ﺍﷲ
adalah dengan penerangan dan dalil yang kukuh. ﺍﷲ bukan benda yang boleh
dilihat dan diterima oleh akal tanpa dibuktikan. Setelah terbukti benar barulah
hukum akal akan menerima akan Tuhan yang bernama ﺍﷲ itu.
B. Hukum akal yang mustahil berbagi 2, yakni:
1) Mustahil Dhoruri (ﻱﺮﻭﺭ ﺿ)
Yaitu
apa yang tidak diterima akal tanpa perlu difikirkan atau dibuktikan. Contohnya,
kejadian siang dan malam. Akal menolak bahwa siang dan malam itu boleh
bercampur pada masa yang sama. Akal menerima bahwa siang dan malam datang silih
berganti bukan serentak menjadi satu. Ia adalah perkara yang mustahil dan
ditolak oleh hukum akal
2) Mustahi Nazhari (ﻱﺮ ﻈﻧ)
Yakni
apa yang ditolak oleh akal setelah difikir, dibahas, diuraikan dengan dalil
yang kukuh lalu difahami dan diyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diterima
akal. Contohnya, ada yang menyaingi kekuasan ﺍﷲ . Akal mesti dapat membedakan antara yang
mempunyai sifat ketuhanan dengan yang tidak. Perkara yang ditolak akal tetapi
mesti dibahas dengan mendalam dalam soal Tauhid adalah sangat penting diuraikan
sehingga dapat dipahami dengan baik. Contohnya, ﺍﷲ yang memberi kesembuhan, bukan manusia. Doktor
juga boleh beri zuriat dengan cara-cara saintifik yang canggih lagi moden. Maka
wajib diuraikan apa itu sifat-sifat ketuhanan supaya dapat ditujukkan perbedaan
antara Tuhan dan makhluk. Setelah difahami dan diyakini barulah hukum akal akan
menolak bahawa ﺍﷲ ada saingan .
D. Hukum akal yang harus
Harus
pada hukum akal ialah boleh menerima atau tidak
akan suatu hal. Sebagai contoh , Harus bagi ﺍﷲ untuk menentukan segala
yang harus. Alam adalah harus kejadiannya.
Artinya alam tidak mesti ada dan tidak mesti tidak ada. Apa yang
ditakdirkan ﺍﷲ kepada hamba NYA adalah
harus pada hukum akal. Maka harus ada
pada akal untuk memaklumi bahwa ﺍﷲ berhak untuk menurunkan hujan atau
tidak menurunkan hujan.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas,
dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan akal adalah daya pikir
(untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau
merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. Dengan akal, dapat melihat diri
sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan sekeliling,
juga dapat mengembangkan konsepsi-konsepsi mengenai watak dan keadaan
diri kita sendiri, serta melakukan tindakan berjaga-jaga terhadap rasa
ketidakpastian yang esensial hidup ini.
Yaitu penetapan suatu perkara atas
perkara yang lainnya atau penolakan suatu perkara kepada perkara lainnya, dan
dalam menetapkan atau menolak hukum(perkara) tersebut tidak membutuhkan
uji coba yang berulang-ulang dan tidak membutuhkan sandaran
(wadla’).
Adapun
hukum akal terbagi menjadi, yakni:
a.
Wajib (diterima
akal)
b.
Mustahil (ditolak
akal )
c.
Harus (boleh
diterima atau ditolak akal)
B.
Saran
Demikian beberapa catatan dapat kami tulis
tentang “Hukum Akal”, kami sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari
salah dan lupa mohon maaf yang tiada
batasnya, hingga kekurangan terdapat dimana-mana. Kami mohon bimbingan demi
pembenaran makalah ini serta dalam perbaikan makna.
DAFTAR PUSTAKA
-
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta,
cetakan kedua, 1986.
-
www.google.com// pengertian akal dan wahyu.ic.id
-
Nasution, Harun, Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid
I,II.
-
Atang, Metodologi Study Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
- Nasution, Harun Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), UI Press, Jakarta,cet.V,1986.
DAMS ALASKA
No comments:
Post a Comment