Friday, February 20, 2015

Makalah Tentang Akal

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Seiring waktu yang terus berputar tanpa henti, hingga semakin hari semakin banyak  perubahan yang terjadi dalam perjalanan anak manusia, tentu semua itu tak terlepas dari adanya karunia yang terbesar, yakni adanya akal dalam diri manusia.
Perlu kita ketahui bahwa akal maupun hukum akal merupakan nikmat  terbesar yang Allah  letakkan pada otak manusia dengan segala ciri yang istimewa. Dengan adanya sifat ini, berbedalah manusia itu daripada makhluk-makhluk lain seperti hewan. Dengan kata lain, dengan adanya akal, termulialah manusia ini dibandingkan dengan makhluk lain di muka bumi Tuhan ini.
Maka dari maksud tersebut, dalam makalah ini menyajikan berbagai permasalahan yang menyangkut dengan ‘hukum akal’, baik pengertian mengenai akal itu sendiri, hukum akal dan hal lain yang akan menggugah hati dan jiwa untuk senantiasa meningkatkan daya fikir dalam mengarungi dunia yang dipenuhi dengan berbagai tantangan dan liku yang penuh dengan onak berduri.

B.       Rumusan Masalah
            Dalam makalah ini akan membahas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan “Hukum Akal”, baik pengertian, pembagian,  dan beberapa hal lainnya yang kerap menjadi pembahasan dalam ruang lingkup hukum akal.

C.       Tujuan Pembahasan
         Adapun tujuan  dalam  pembahasan makalah ini adalah agar kita selaku manusia yang menjadi khalifah dimuka bumi  dapat memahami dengan baik dan benar akan apa yang harus kita lakukan  dengan nikmat akal yang telah di anugrahkan kepada kita.


BAB II
PEMBAHASAN
1.                  Pengertian akal
Akal berasal dari bahasa Arab 'aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu.[1] Pengertian lain dari akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. Dengan akal, dapat melihat diri sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan sekeliling, juga dapat mengembangkan konsepsi-konsepsi mengenai watak dan keadaan diri kita sendiri, serta melakukan tindakan berjaga-jaga terhadap rasa ketidak pastian yang esensial hidup ini.
Akal juga bisa berarti jalan atau cara melakukan sesuatu, daya upaya, dan ikhtiar.  Akal juga mempunyai konotasi negatif sebagai alat untuk melakukan tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikan.
Akal fikiran tidak hanya digunakan untuk sekedar makan, tidur, dan berkembang biak, tetapi akal juga mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang asal-usul, alam dan masa yang akan datang. Kemampuan berfikir mengantarkan pada suatu kesadaran tentang betapa tidak kekal dan betapa tidak pastinya kehidupan ini.
Orang yang berakal adalah orang yang mampu mengikat atau mengendalikan hawa nafsunya. Kemampuan seseorang untuk mengikat hawa nafsu, akan menempatkan hawa nafsu pada posisi yang serendah-rendahnya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya, ia akan mampu memahami wahyu sebagai kebenaran. Orang yang tidak mampu menawan hawa nafsunya tidak akan mampu mengendalikan dirinya.
Selanjutnya akal mengandung arti kebijaksanaan, pemahaman. Ada pula yang mengartikan akal dengan pembatasan dan pencegahan, perlindungan atau kemampuan seseorang untuk menemukan dirinya sendiri. Di sini diartikan orang berakal adalah orang yang mampu membatasi dan mencegah hawa nafsunya serta memberikan perlindungan sampai pada batas-batas yang diperlukan. Dengan demikian akal akan mampu melihat kebenaran. Nampaknya bahwa hawa nafsu tidak dihilangkan sama sekali, sebab ia diperlukan dalam kadar tertentu. Dalam batas-batas itulah di bawah kendali akal seseorang akan mampu menemukan jati dirinya. Pada zaman jahiliyah, kata akal dipakai dalam arti kecerdasan praktis, dalam istilah psikologi modern di sebut sebagai kemampuan memecahkan masalah. Orang berakal adalah orang yang mempunyai kemampuan atau keterampilan menyelesaikan masalah, kapanpun masalah itu timbul ia akan mampu menyelesaikan dan mengatasinya, sehingga ia akan dapat menghindari dari bahaya itu, kemampuan praktis seperti ini sangat dihargai oleh orang Arab zaman Jahiliyah

2.                  Peranan akal
Begitulah peranan akal yang jika digunakan sungguh-sungguh, membawa manusia mendapat manfaat daripadanya dan  menjadi lebih mulia daripada makhluk yang lain.
Di samping itu, manusialah yang dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang memerlukan pemikiran-pemikiran, Ilmu-ilmu tersebut kalau tidak difikirkan, tidak akan dapat diperoleh. Tetapi karena manusia memiliki akal, maka dapat memikirkan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut.
Oleh karena  itu, hari ini bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah diperoleh manusia seperti ilmu alam, ilmu hisab, ilmu sains dan teknologi, ilmu kaji bumi, ilmu psikologi, dan bermacam-macam ilmu pengetahuan lain. Kalau tidak ada akal, manusia tidak mungkin memperoleh semua ilmu itu.Kemudian, dengan akal itu pula manusia dapat memikirkan kerja-kerja yang sulit dan yang halus. Hingga dapat menyusunnya dengan sebaik-baiknya.
Jadi, kita dapat memahami bahwa berawal dari akal itulah terbitnya segala manfaat dan kebajikan yang semua itu akan memberikan kebahagiaan kepada manusia. Walau bagaimanapun  caranya manusia  dapat menggunakan akalnya itu dengan sebaik-baiknya dengan dipandu oleh syariat.  Kalau tidak,  manusia bisa  rusak binasa terutama rusak aqidahnya.
Samahalnya seperti peranan senjata api, yang dapat memberi manfaat kepada kita dengan syarat kita pandai menggunakannya. Misalnya, kalau datang musuh, perampok dan sebagainya, kita dapat mempertahankan diri dengan senjata api. Tetapi kalau kita tidak mampu menggunakannya, maka ia bisa merusakkan kita.
Begitulah dengan akal, kalau manusia menyalahgunakannya, rusaklah muka bumi ini, dan binasalah kehidupan manusia seluruhnya, terwujudlah huru-hara di atas bumi ALLAH ini, dan akan terjadilah sebagaimana yang ALLAH gambarkan:
Terjemahannya: Akan lahirlah kerusakan di daratan dan di lautan akibat daripada usaha manusia itu sendiri (Ar Rum: 41)

3.             Hukum Akal
Yaitu penentapan  suatu perkara atas perkara yang lainnya atau penolakan suatu perkara kepada perkara lainnya, dan dalam menetapkan atau menolak hukum(perkara) tersebut tidak membutuhkan   uji coba yang berulang-ulang dan tidak membutuhkan sandaran (wadla’). Seperti menetapkan 1+1 = 2. Begitu juga dalam hal-hal lain yang seumpama ini. Akal lah yang menetapkan hukum itu, bukan adat dan bukan juga syarak. Apabila hukum itu ditetapkan oleh syarak, ia ber-sumberkan Al Quran dan hadis. Tetapi dalam hal-hal seperti tadi, akal saja yang menetapkannya.[2]
Kemudian, hukum akal ini tidak perlu di uji coba. Umpamanya, hukum akal yang menetapkan bahawa ayah itu lebih tua daripada anak, tidak perlu dicoba seperti kita banding-bandingkan antara anak dan ayah. Tak perlu dibuat demikian karana secara spontan akal menerima bahwa anak itu lebih muda daripada ayah, atau ayah itu lebih tua daripada anak. Jadi, hukum akal lah yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak tak perlu diuji coba kembali.

4.        Pembagian hukum akal
Hukum akal terbagi 3, yakni:
a.         Wajib (diterima akal)
b.        Mustahil (ditolak akal )
c.         Harus  (boleh diterima atau ditolak akal)

A.    Hukum akal yang wajib terbagi menjadi 2, yakni:
1.        Wajib Dhoruri (ﻱ ﺮﻭﺭ ﺿ )
            Yaitu apa yang diterima akal itu tidak perlu difikir maupun dibuktikan karana sudah jelas logikanya. Contohnya,  setiap benda mesti ada gerak dan diam. Jika tidak gerak berarti ia diam. Jika tidak diam berarti ia bergerak. Akal menerima ini tanpa perlu difikirkan.
2.        Wajib Nazhari (ﻱﺮﻈ ﻧ)
            Yaitu apa yang diterima akal setelah berfikir, dibahas, diuraikan dengan bukti-bukti lalu difahami dan diyakini kebenarannya. Contohnya, mempelajari sifat-sifat ﺍﷲ adalah dengan penerangan dan dalil yang kukuh. ﺍﷲ  bukan benda yang boleh dilihat dan diterima oleh akal tanpa dibuktikan. Setelah terbukti benar barulah hukum akal akan menerima akan Tuhan yang bernama ﺍﷲ itu.

B. Hukum akal yang mustahil berbagi 2, yakni: 
1) Mustahil Dhoruri (ﻱﺮﻭﺭ ﺿ)
            Yaitu apa yang tidak diterima akal tanpa perlu difikirkan atau dibuktikan. Contohnya, kejadian siang dan malam. Akal menolak bahwa siang dan malam itu boleh bercampur pada masa yang sama. Akal menerima bahwa siang dan malam datang silih berganti bukan serentak menjadi satu. Ia adalah perkara yang mustahil dan ditolak oleh hukum akal
2) Mustahi Nazhari (ﻱﺮ ﻈﻧ)
            Yakni apa yang ditolak oleh akal setelah difikir, dibahas, diuraikan dengan dalil yang kukuh lalu difahami dan diyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diterima akal. Contohnya, ada yang menyaingi kekuasan ﺍﷲ .  Akal mesti dapat membedakan antara yang mempunyai sifat ketuhanan dengan yang tidak. Perkara yang ditolak akal tetapi mesti dibahas dengan mendalam dalam soal Tauhid adalah sangat penting diuraikan sehingga dapat dipahami dengan baik. Contohnya,  ﺍﷲ  yang memberi kesembuhan, bukan manusia. Doktor juga boleh beri zuriat dengan cara-cara saintifik yang canggih lagi moden. Maka wajib diuraikan apa itu sifat-sifat ketuhanan supaya dapat ditujukkan perbedaan antara Tuhan dan makhluk. Setelah difahami dan diyakini barulah hukum akal akan menolak bahawa ﺍﷲ ada saingan .

D. Hukum akal yang harus
            Harus pada hukum akal ialah boleh menerima atau tidak  akan suatu hal. Sebagai contoh , Harus bagi ﺍﷲ untuk menentukan segala yang harus. Alam adalah harus kejadiannya.  Artinya alam tidak mesti ada dan tidak mesti tidak ada. Apa yang ditakdirkan ﺍﷲ  kepada hamba NYA adalah harus pada hukum akal. Maka  harus ada pada akal untuk memaklumi bahwa ﺍﷲ  berhak untuk menurunkan hujan atau tidak menurunkan hujan.[3]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. Dengan akal, dapat melihat diri sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan sekeliling, juga dapat mengembangkan konsepsi-konsepsi mengenai watak dan keadaan diri kita sendiri, serta melakukan tindakan berjaga-jaga terhadap rasa ketidakpastian yang esensial hidup ini.
Yaitu penetapan  suatu perkara atas perkara yang lainnya atau penolakan suatu perkara kepada perkara lainnya, dan dalam menetapkan atau menolak hukum(perkara) tersebut tidak membutuhkan   uji coba yang berulang-ulang dan tidak membutuhkan sandaran (wadla’).
       Adapun hukum akal terbagi menjadi, yakni:
a.         Wajib (diterima akal)
b.        Mustahil (ditolak akal )
c.         Harus  (boleh diterima atau ditolak akal)

B.      Saran
Demikian beberapa catatan dapat kami tulis tentang “Hukum Akal”,  kami  sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari salah dan lupa mohon maaf  yang tiada batasnya, hingga kekurangan terdapat dimana-mana. Kami mohon bimbingan demi pembenaran makalah ini serta dalam perbaikan makna.

DAFTAR PUSTAKA

-          Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
-          www.google.com// pengertian akal dan wahyu.ic.id
-          Nasution, Harun, Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I,II.
-          Atang, Metodologi Study Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
- Nasution, Harun Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI Press, Jakarta,cet.V,1986.





[2] Atang, Metodologi Study Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.hal 34

[3] Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.hal 45


DAMS ALASKA  

No comments:

Post a Comment