Wednesday, February 18, 2015

MAKALAH USHUL FIQH: IJTIHAD

BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD

A.    Pengertian Ijtihad
a.       Ijtihad Menurut Etimologi
Kata ijtihad berasal dari basa Arab “Jahada”(). Bentuk kata mashdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya:
Ø  Jahdu, dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.
Ø  Juhdu, dengan arti kesungguhan atau kemapuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah.[1]
Dalam pengertian umum, ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan energy sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan.
b.      Ijtihad Menurut Istilah
Ijtihad secara umum adalah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’,yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.[2]
Kemudian ijtihad juga banyak di tafsirkan oleh beberapa ulama berikut:
Ø  Ijtihad menurut Iman Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-fuhuli adalah Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui istinbath.
Ø  Ijtihad menurut Ibnu Subki adalah pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
Ø  Ijtihad menurut al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam adalah pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang seseatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang darinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.[3]
Dari tiga pengertian ijtihad di atas dapat di ambil hakikat dari ijtihad sebagai berikut:
v  Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
v  Usaha ijtihad di lakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang di sebut faqih.
v  Produk atau yang diperoleh dari usaha hasil ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah.
v  Usaha ijtihad di tempuh melalui cara-cara istinbath.

B.     Dasar Hukum Ijtihad
Yang di maksud dengan hukum berijtihad disini adalah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun dari hukum  wadh’i. karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih.
Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi. Pertama dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri. Kedua dari segi mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan di amalkan oleh umat atau pengikutnya.
Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtiihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dna pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad sebagai berikut:
Ø  Surat al-Hasyr ayat 2:
…. (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ  
… maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan.
Ø  Surat an-Nisa ayat 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam kedudukannya sebagai faqih yang pendapatnya akan di ikuti dan di amalkan oleh orang lain yang minta fatwa tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung pada keadaan kondisi mujtahid dan umat di sekitarnya. Hukum berijtihad nya menjadi sebagai berikut:
Ø  Wajib  ‘ain apabila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum.
Ø  Wajib kifayah apabila seorang faqih di tanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad.
Ø  Sunat apabila keadaan yang di tanyakan kepada faqih belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut.
Ø  Haram apabila faqih berijtihad untuk kasus yang telah ada hukumnya dan di tetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i, atau apabila orang yang melakukan ijtihad belum mencapai tingkat faqih.
Ø  Mubah apabila dalam menhadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum di atur secara jelas dalam nash Alquan maupun  hadis, sedangkan irang yang memiliki kuallifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang.[4]

C.    Peranan Ijtihad dan Lapangannya
Menurut Abdul Wahhab Kallaf, persoalan yang menadi lapangan ijtihad adalah semua hal yang besifat zanni (tidak pasti), baik dari segi datangnya dari Nabi maupun dari segi maksud yang di kandung suatu ayat atau hadis, dalam hal ini lapangan ijtihad dapat di katagorikan menjadi tiga macam:
1.      Hadis ahad, yaitu hadis yang di riwayatkan seorang atau beberapa orang, tetapi jumlah perawinya tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Keberadaan hadis ahad berasal  darri Nabi saw, hanya sa,pai pada tingkat dugaan kuat (zanni). Ini berarti bahwa hadis itu mungkin saja palsu meskipun dugaan tersebut hanya kecil, untuk membuktikannya para mujtahi melakukan ijtihad dengan menguji kebenaran jalur periwayatannya.
2.      Redaksi ayat Al-Quran atau hadis yang mengandung pengertian zanni sehingga mungkin saja mempunyai pengartian lain selain yang cepat diketahui ketika mendengar bunyi redajsi tersebut. Dalam hal ini, ijtihad mengambil peran untuk menentukan makna mana yang sebenarnya yang di maksudkan redaksi tersebut.
3.      Semua persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis, sementara itu tidak ada ijma’ ulama yang menjelaskan hukum kasus tersebut. dan melalui pendekatan tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, ‘urf dan lain-lain.[5]

D.    Pembagian dan Macam-Macam Ijtihad
1.      Pembagian ijtihad
Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad, diantaranya:
1)      Menurut Mahdi Allah membagi ijtihad menjadi dua:
a.       Ijtihad muthlaq, yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-milah masalah hukum tertentu.
b.      Ijtihad juz’i, yaitu kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidah mendalami bagian yang lain.
2)      Menurut Muhammad Abu Zahrah membagi ijtihad menjadi dua:
a.       Ijtihad istinbathi, yaitu kegiatan ijtihad yang barusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah di tentukan.
b.      Ijtihad tathbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil ttemuan imam mujahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian.
3)      Menurut Ibn Subki, kegiatan ijtihad tathbiqi di bagi dau:
a.       Takhrij al-ahkam,yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang baru dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah di tetapkan oleh imam mujahid terdahulu.
b.      Tarjih, yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan di kemudian hari bagi para pengikut seorang imam mujahid untuk di ikuti dan di jalankan.

2.      Macam-macam ijtihad
a)      Ijtihad di lihat dari segi dalil yang di jadikan pedoman,ada tiga macam:
a.       Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifanya dhanni, baik dari segi ketettapannya maupun dari segi petunjuknya.
b.      Ijtihad qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak di temukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun secara dhanni, juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan hukumnya.
c.       Ijtihad istilahi, yaitu karya ijtuhad untuk menggali, menemukan, dan meneruskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash dan tidak mungkin mencari kaitannya dengan nash yang ada juga blm di putuskan dalam ijma’.
b)      Dari segi hasil yang di capai melalui ijtihad, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi dua bentuk:
a.       Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat di pandang  sebagai penemuan hukum.
b.      Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat di pandang sebagai cara dalam menemukan hukum.
c)      Menurut al-Mwardi membagi ijtihad dari sudut kegiatan ijtihat dalam kaitannya dengan cara yang digunakan menjadi delapan mecam:
a.       Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari makna tujuan yang terdapat dalam nash.
b.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kemiripan yang terdapat dalam nash.
c.       Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keumuman lafaz nash.
d.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kumpulan nash.
e.       Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keadaaan yang terdapat dalam nash.
f.       Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil dalam nash.
g.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari ‘amarat (petunjuk yang kurang kuat) dalam nash.
h.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari nash juga bukan dari prinsip nash.[6]
d)     Ijtihad dilihat dari segi pelaksanaanya atau siapa yang terlibat langsung dalam melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu.
a.       Ijtihad fardi adalah setiap ijtihad yang beelum atau tidak memperoleh persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah.
Adanya ijtihad fardi itu dapat di kaji dari hadis Rasulullah saw dan atsar dari para sahabat. Rasulullah membenarkan dan dapat menerima jawaban Mu’adz bin Jabal ajtahidu ra’yi wala alu (Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya), ketika di tanyakan tentang dasar yang di pergunakan mengambil keputusan ketika tidak menemukannya di dalam Al-Quran dan Hadits.
b.      Ijtihad jama’i adalah setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid terhadap satu masalah.
Hadits yang menjadi sumber adanya ijtuhad-jama’i ini adalah jawaban Rasulullah saw kepada Ali bin Abu Thalib r.a yang menanyakan bagaimana caranya dan apa yang dijadikan dasar untuk member keputusan peristiwa yang tidak di tunjuk hukumnya oleh Al-Quran dan Hadis yang memerintahkan agar di musyawarahkan dengan para ahli.[7]

E.     Syarat-Syarat Bagi Mujtahid
a.       Menguasai bahasa Arab
Ulama ushul fiqh telah bersepakat bahwa mujtahid di syaratkan harus menguasai bahasa Arab, karena Al-Qurann di turunkan sabagai syariat dalam bahasa Arab,begitu juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari Al-Quran juga tersusun dalam bahasa Arab.
b.      Mengetahun nasakh dan mansukh dalam Al-Quran
Syarat ini telah di tentukan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah. Persyaratan ini di dasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedomen dan sumber utama syari’at yang  bersifat abadi sampai hari kiamat. Menurut Imam Syafi’i, bahwa seorang mujtahid itu di syaratkan hafal al-Quran secara keseluruhan dan menguasai segala isi kandungannya, memahami maknanya secara global, mempelajari secara mendalam dan rinci tentang kandungan ayat-ayat hukum serta tafsirnya menurut sahabat, dengan mempelajari asbabun nuzul agar mengetahui maksud dan tujuannya.
c.       Mengerti Hadits
Seorang mujtahid harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah (perkataan),fi’liyah (perbuatan) maupun taqririyah ( ketetapan), minimal pada setiap pokok masalah menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa di bagi pembidangannya. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh dan mansukh dalam sunnah, ‘am dan khasnya, mutlaq dan muqayyadnya, takhsis dari yang umum.
d.      Mengerti letak ijma’ dan khilaf
Letak ijma’ yang tidak diragukan lagi terjadinya dan harus dimengerti oleh para mujtahid adalah masalah dasar faraidh, banyak khabar yang mutawatir yang menunjukkan adanya ijma’ tersebut. begitu juga masalah wanita yang di haramkan yang telah di tentukan dalam al-Quran dan hadis telah terjadi ijma’ di dalamnya. Dengan mengetahui letak ijma’ yang telah di sepakati para ulama salaf, maka seorang mujtahid juga harus mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi antara para fuqaha’.
e.       Mengetahui qiyas
Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesunguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Jalan-jalan qiyas yang harus di ketahui oleh mujtahid antara lain:
Ø  Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta ‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (cabang)
Ø  Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidah boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya,serta sifat-sifat ‘ilat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
Ø  Mengetahui metode yang di pakai oleh ulama salaf yang shalih dalam mengetahui ‘illat-‘illat hukum dan sifat-sifat yang di pandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqh.
f.    Mengetahui maksud-maksud hukum
      Sudah di maklumi bahwa hukum dalam syari’at Islam itu di maksudkan dan bertujuan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Sebagai realisasinya, maka syariah Islam haruslah mempu menjaga kemaslahatan manusia yang tiga tingkatann:
·         Dharuriyyat (pasti)
·         Hajiyyat (kebutuhan)
·         Tahsinat (perlengkapan)
                        Seorang mujtahid haruslah mengetahui kemaslahatan manusia, agar mampu menerapkan qiyas dan bentuk hukum yang sesuai dengan kebutuhan manusia.[8]
g.      Pengetahuan tentang ushul fiqh
Seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari apa-apa yang di perlukan untuk berijtihad, dengan mengetahui ilmu ini ia akan mampu mengembalikan furu’ kepada asal dengan cara yang mudah.[9]

F.     Tingkatan mujtahid
Tingkatan ijtihad  di bagi ke dalam beberapa tingkatan,yaitu:
a.       Mujtahid fisy-syari, yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syari’at yang hasilnya di ikuti dan di jadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad.
b.      Mujtahid  fil mazhab, yaitu mujtahid yang hasil ijtihadnya tidah sampai membentuk mazhab tersendiri,akan tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang imam Mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang.
c.       Mujtahid fil-masail, yaitu mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum.
d.      Mujtahid muqayyad, yaitu mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya.[10]
e.       Mujtahi murajjih, yaitu mujtahid yang berusaha menggali dan mengenal hukum furu’, namu ia tidak sampai mengistinbathkan sendiri hukum furu’, namun ia tidak sampai mengistinbathkan sendiri hukum dari dalil syar’i maupun dari nash imamnya.
f.       Mujahid muwazzin, yaitu mujtahid yang tidak mempunyai kemampuan untuk mentarjih di antara beberapa pendapat mazhab, tetapi hanya sekadar membanding-bandingkan pendapat dalam mazhab kemudian beradil dengan apa yang di anggapnya lebih tetap untuk di amalkan.
g.      Golongan huffaz, golongan ini tidak melakukan kegiatan ijtihad dalam pengertian istilah, tetapi mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hukum-hukum yang telah di tentukan imam mujtahid terdahulu secara langsung dari nash atau apa yang di temukan oleh mujtahid maazhab dengan mentakhrijkannya dari pendapat imam mazhab.
h.      Golongan mukallid, golongan ini adalah kalangan umat yang tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengertian istilah, juga tidak mempunyai kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, ia juga tidak memahami dalil-dali.

G.    Metode Ijtihad
Metode yang di maksud disini adalah thariqah, yaitu jalan atau cara yang harus di lakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami,menemukan, merumuskan hukum syara’.
Langkah-langkah yang harus di tempuh seorang mujtahid dalam istinbath hukum antara lain:
Ø  Bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir,maka mujtahid harus mencari penjelasannya dengan merujuk kepada Al-Quran.
Ø  Jika tidak menemukan hukum dalam al-Quaran maka mujtahid merujuk kepada hadis.
Ø  Kumudian mujtahid mencari jawabannya dari kesepakatan ulama sahabat.
Ø  Bila tidak ada kesepakatan sahabat tentang hukum yang di carinya, maka mujtahud menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi hukum yang kemudian di sebut fiqh.
Kemudian mengenai metode ijtihad,secara garis besar yaitu:
Ø  Metode istihsan
Ø  Metode maslahah mursalah
Ø  Metode istishab
Ø  Metode ‘urf
Ø  Metode mazhab sahabi
Ø  Metode syar’u man qablana
Ø  Metode sabdu al-Zari’ah.

H.    Kebenaran Hasil Ijtihad
Bila seorang mujtahid melakukan suatu ijtihad terhadap suatu masalah dalam lapangan ijtihad dan sampai pada suatu kesimpulan berupa hukum, maka secara lahir dapat di katakana bahwa ia telah menetap kan hukum syara’. Namun pada hakikatnya, mujtahid itu bukan menetapkan hukum dan membuat hukum, karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam, bahwa yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah swt, dan tiada hukum kecuali dari Allah. Karena itu, dapat di katakan bahwa hukum yang dapat dicapai oleh mujtahid itu adalah “ hukum Allah dalam lisan mujtahid”.[11]

I.       Pembatalan Ijtihad
a.       Apabila seorang berijtihad untuk dirinya sendiri dan setelah hasilnya di amalkan ketahuan salahnya, maka ia harus membatalkan ijtihadnya yang pertama dengan yang kedua.
b.      Apabila seorang berijtihad untuk kepentingan memberikan fatwa atau keputusan suatu persengketaan dan kemudian ternyata apa yang telah di fatwakan atau di putuskan itu bertentangan dengan suatu nash atau ijma’,maka ia wajib memberitahukan kepada orang yang telah di beri fatwa atau membatalkan keputusan yang telah diambilnya.[12]



[1]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana ), hlm 237.
[2]  Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam,( Bandung : Alma’arif ), hlm 373.
[3]  Amir Syarifuddun, Ushul…, hlm 238-240
[4]  Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm 240-243
[5]  Firdaus, Ushul Fiqh, ( Jakarta Timur : Zikrul Hakim), hlm 76-77.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm 283-292
[7]  Mukhtar Yahya,Ushul…, hlm 379-381
[8]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, ( Pustaka Firdaus : Jakarta ), hlm 568-575.
[9]  Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm 282.
[10]  Muchtar Yahya…, Ushul…, hlm 383-384.
[11]  Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm 295-296.
[12]  Muchta Yahya…, Ushul…, hlm 388.

MUSAWAF

No comments:

Post a Comment