BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD
a.
Ijtihad
Menurut Etimologi
Kata
ijtihad berasal dari basa Arab “Jahada”(). Bentuk kata mashdarnya ada dua
bentuk yang berbeda artinya:
Ø Jahdu, dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.
Ø Juhdu, dengan arti kesungguhan atau kemapuan yang di dalamnya
terkandung arti sulit, berat dan susah.[1]
Dalam
pengertian umum, ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan energy sampai
dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan.
b.
Ijtihad
Menurut Istilah
Ijtihad secara
umum adalah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum
syar’i dari dalil-dalil syara’,yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.[2]
Kemudian
ijtihad juga banyak di tafsirkan oleh beberapa ulama berikut:
Ø Ijtihad menurut Iman Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-fuhuli
adalah Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali
melalui istinbath.
Ø Ijtihad menurut Ibnu Subki adalah pengerahan kemampuan seorang
faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
Ø Ijtihad menurut al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam adalah pengerahan
kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang seseatu dari hukum syara’ dalam
bentuk yang darinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.[3]
Dari
tiga pengertian ijtihad di atas dapat di ambil hakikat dari ijtihad sebagai
berikut:
v Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
v Usaha ijtihad di lakukan oleh orang yang telah mencapai derajat
tertentu di bidang keilmuan yang di sebut faqih.
v Produk atau yang diperoleh dari usaha hasil ijtihad itu adalah
dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah.
v Usaha ijtihad di tempuh melalui cara-cara istinbath.
B.
Dasar Hukum Ijtihad
Yang di maksud dengan hukum
berijtihad disini adalah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari
tujuan hukum taklifi, maupun dari hukum
wadh’i. karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang
yang telah mencapai tingkat faqih.
Hukum berijtihad seorang faqih dapat
dilihat dari dua segi. Pertama dari segi hasil ijtihadnya itu adalah
untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri. Kedua dari segi mujtahid
itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan di amalkan oleh umat atau
pengikutnya.
Secara umum, hukum berijtihad itu
adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtiihad untuk menggali
dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak
menetapkannya secara jelas dna pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk
berijtihad sebagai berikut:
Ø Surat al-Hasyr ayat 2:
…. (#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
… maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang
punya pandangan.
Ø Surat an-Nisa ayat 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam
kedudukannya sebagai faqih yang pendapatnya akan di ikuti dan di amalkan oleh
orang lain yang minta fatwa tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung
pada keadaan kondisi mujtahid dan umat di sekitarnya. Hukum berijtihad nya
menjadi sebagai berikut:
Ø Wajib ‘ain apabila
seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan
ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa kalau
tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari
hukum.
Ø Wajib kifayah apabila seorang faqih di tanya tentang hukum suatu kasus yang
berlaku, sedangkan ia satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir
akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang
faqih yang mampu melakukan ijtihad.
Ø Sunat apabila keadaan yang di tanyakan kepada faqih belum terjadi secara
praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi
timbulnya kasus tersebut.
Ø Haram apabila faqih berijtihad untuk kasus yang telah ada hukumnya
dan di tetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i, atau apabila orang
yang melakukan ijtihad belum mencapai tingkat faqih.
Ø Mubah apabila dalam menhadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam
kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum di atur secara jelas
dalam nash Alquan maupun hadis,
sedangkan irang yang memiliki kuallifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang.[4]
C.
Peranan Ijtihad dan Lapangannya
Menurut Abdul Wahhab Kallaf,
persoalan yang menadi lapangan ijtihad adalah semua hal yang besifat zanni
(tidak pasti), baik dari segi datangnya dari Nabi maupun dari segi maksud yang di
kandung suatu ayat atau hadis, dalam hal ini lapangan ijtihad dapat di
katagorikan menjadi tiga macam:
1.
Hadis
ahad, yaitu hadis yang di riwayatkan seorang atau beberapa orang, tetapi jumlah
perawinya tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Keberadaan hadis ahad
berasal darri Nabi saw, hanya sa,pai
pada tingkat dugaan kuat (zanni). Ini berarti bahwa hadis itu mungkin saja
palsu meskipun dugaan tersebut hanya kecil, untuk membuktikannya para mujtahi
melakukan ijtihad dengan menguji kebenaran jalur periwayatannya.
2.
Redaksi
ayat Al-Quran atau hadis yang mengandung pengertian zanni sehingga mungkin saja
mempunyai pengartian lain selain yang cepat diketahui ketika mendengar bunyi
redajsi tersebut. Dalam hal ini, ijtihad mengambil peran untuk menentukan makna
mana yang sebenarnya yang di maksudkan redaksi tersebut.
3.
Semua
persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis, sementara
itu tidak ada ijma’ ulama yang menjelaskan hukum kasus tersebut. dan melalui
pendekatan tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, ‘urf dan lain-lain.[5]
D.
Pembagian dan Macam-Macam Ijtihad
1.
Pembagian ijtihad
Ada
beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad, diantaranya:
1)
Menurut
Mahdi Allah membagi ijtihad menjadi dua:
a.
Ijtihad
muthlaq, yaitu ijtihad yang melingkupi
semua masalah hukum, tidak memilah-milah masalah hukum tertentu.
b.
Ijtihad
juz’i, yaitu kajian mendalam tentang
bagian tertentu dari hukum dan tidah mendalami bagian yang lain.
2)
Menurut
Muhammad Abu Zahrah membagi ijtihad menjadi dua:
a.
Ijtihad
istinbathi, yaitu kegiatan ijtihad yang
barusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah di tentukan.
b.
Ijtihad
tathbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan
untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil ttemuan
imam mujahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian.
3)
Menurut
Ibn Subki, kegiatan ijtihad tathbiqi di bagi dau:
a.
Takhrij
al-ahkam,yaitu menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang baru dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah
di tetapkan oleh imam mujahid terdahulu.
b.
Tarjih, yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan di kemudian
hari bagi para pengikut seorang imam mujahid untuk di ikuti dan di jalankan.
2.
Macam-macam ijtihad
a)
Ijtihad
di lihat dari segi dalil yang di jadikan pedoman,ada tiga macam:
a.
Ijtihad
bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan
hukum yang terkandung dalam nash, namun sifanya dhanni, baik dari segi
ketettapannya maupun dari segi petunjuknya.
b.
Ijtihad
qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan
menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak di temukan dalilnya secara
tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun secara dhanni, juga tidak ada
ijma’ yang telah menetapkan hukumnya.
c.
Ijtihad
istilahi, yaitu karya ijtuhad untuk
menggali, menemukan, dan meneruskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah
kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash dan tidak
mungkin mencari kaitannya dengan nash yang ada juga blm di putuskan dalam
ijma’.
b)
Dari
segi hasil yang di capai melalui ijtihad, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi
dua bentuk:
a.
Ijtihad
mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum
dapat di pandang sebagai penemuan hukum.
b.
Ijtihad
ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad
yang secara hukum tidak dapat di pandang sebagai cara dalam menemukan hukum.
c)
Menurut
al-Mwardi membagi ijtihad dari sudut kegiatan ijtihat dalam kaitannya dengan
cara yang digunakan menjadi delapan mecam:
a.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari makna tujuan yang terdapat dalam nash.
b.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kemiripan yang terdapat dalam nash.
c.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keumuman lafaz nash.
d.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kumpulan nash.
e.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keadaaan yang terdapat dalam nash.
f.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil dalam nash.
g.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari ‘amarat (petunjuk yang kurang kuat)
dalam nash.
h.
Ijtihad
yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari nash juga bukan dari prinsip nash.[6]
d)
Ijtihad
dilihat dari segi pelaksanaanya atau siapa yang terlibat langsung dalam
melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu.
a.
Ijtihad
fardi adalah setiap ijtihad yang beelum
atau tidak memperoleh persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah.
Adanya ijtihad fardi itu dapat di kaji dari hadis Rasulullah saw
dan atsar dari para sahabat. Rasulullah membenarkan dan dapat menerima jawaban
Mu’adz bin Jabal ajtahidu ra’yi wala alu (Aku akan menggunakan ijtihad
pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya), ketika di tanyakan tentang dasar
yang di pergunakan mengambil keputusan ketika tidak menemukannya di dalam
Al-Quran dan Hadits.
b.
Ijtihad
jama’i adalah
setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid terhadap satu
masalah.
Hadits yang menjadi sumber adanya ijtuhad-jama’i ini adalah jawaban
Rasulullah saw kepada Ali bin Abu Thalib r.a yang menanyakan bagaimana caranya
dan apa yang dijadikan dasar untuk member keputusan peristiwa yang tidak di
tunjuk hukumnya oleh Al-Quran dan Hadis yang memerintahkan agar di
musyawarahkan dengan para ahli.[7]
E.
Syarat-Syarat Bagi Mujtahid
a.
Menguasai
bahasa Arab
Ulama ushul fiqh telah bersepakat bahwa mujtahid di syaratkan harus
menguasai bahasa Arab, karena Al-Qurann di turunkan sabagai syariat dalam
bahasa Arab,begitu juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari
Al-Quran juga tersusun dalam bahasa Arab.
b.
Mengetahun
nasakh dan mansukh dalam Al-Quran
Syarat ini telah di tentukan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya
ar-Risalah. Persyaratan ini di dasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran
sebagai pedomen dan sumber utama syari’at yang
bersifat abadi sampai hari kiamat. Menurut Imam Syafi’i, bahwa seorang mujtahid
itu di syaratkan hafal al-Quran secara keseluruhan dan menguasai segala isi
kandungannya, memahami maknanya secara global, mempelajari secara mendalam dan
rinci tentang kandungan ayat-ayat hukum serta tafsirnya menurut sahabat, dengan
mempelajari asbabun nuzul agar mengetahui maksud dan tujuannya.
c.
Mengerti
Hadits
Seorang mujtahid harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah
(perkataan),fi’liyah (perbuatan) maupun taqririyah ( ketetapan), minimal pada
setiap pokok masalah menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa di bagi
pembidangannya. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh dan mansukh
dalam sunnah, ‘am dan khasnya, mutlaq dan muqayyadnya,
takhsis dari yang umum.
d.
Mengerti
letak ijma’ dan khilaf
Letak ijma’ yang tidak diragukan lagi terjadinya dan harus
dimengerti oleh para mujtahid adalah masalah dasar faraidh, banyak khabar yang
mutawatir yang menunjukkan adanya ijma’ tersebut. begitu juga masalah wanita
yang di haramkan yang telah di tentukan dalam al-Quran dan hadis telah terjadi
ijma’ di dalamnya. Dengan mengetahui letak ijma’ yang telah di sepakati para
ulama salaf, maka seorang mujtahid juga harus mengetahui ikhtilaf (perbedaan
pendapat) yang terjadi antara para fuqaha’.
e.
Mengetahui
qiyas
Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesunguhnya adalah
mengetahui jalan-jalan qiyas. Jalan-jalan qiyas yang harus di ketahui oleh
mujtahid antara lain:
Ø Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta
‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (cabang)
Ø Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidah
boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya,serta sifat-sifat
‘ilat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
Ø Mengetahui metode yang di pakai oleh ulama salaf yang shalih dalam
mengetahui ‘illat-‘illat hukum dan sifat-sifat yang di pandang sebagai prinsip
penetapan dan penggalian hukum fiqh.
f.
Mengetahui
maksud-maksud hukum
Sudah di maklumi bahwa
hukum dalam syari’at Islam itu di maksudkan dan bertujuan untuk kesejahteraan
seluruh umat manusia. Sebagai realisasinya, maka syariah Islam haruslah mempu
menjaga kemaslahatan manusia yang tiga tingkatann:
·
Dharuriyyat (pasti)
·
Hajiyyat
(kebutuhan)
·
Tahsinat
(perlengkapan)
Seorang
mujtahid haruslah mengetahui kemaslahatan manusia, agar mampu menerapkan qiyas
dan bentuk hukum yang sesuai dengan kebutuhan manusia.[8]
g.
Pengetahuan
tentang ushul fiqh
Seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari apa-apa yang di perlukan untuk
berijtihad, dengan mengetahui ilmu ini ia akan mampu mengembalikan furu’
kepada asal dengan cara yang mudah.[9]
F.
Tingkatan mujtahid
Tingkatan
ijtihad di bagi ke dalam beberapa
tingkatan,yaitu:
a.
Mujtahid
fisy-syari, yaitu orang-orang yang
berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syari’at yang hasilnya di ikuti dan
di jadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad.
b.
Mujtahid fil mazhab,
yaitu mujtahid yang hasil ijtihadnya tidah sampai membentuk mazhab
tersendiri,akan tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang imam Mazhab yang
telah ada dengan beberapa perbedaan baik dalam beberapa masalah yang utama
maupun dalam beberapa masalah cabang.
c.
Mujtahid
fil-masail, yaitu mujtahid yang mengarahkan
ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab bukan kepada dasar-dasar
pokok yang bersifat umum.
d.
Mujtahid
muqayyad, yaitu mujtahid yang mengikatkan
diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber
hukum dan dalalah-dalalahnya.[10]
e.
Mujtahi
murajjih, yaitu mujtahid yang berusaha
menggali dan mengenal hukum furu’, namu ia tidak sampai mengistinbathkan
sendiri hukum furu’, namun ia tidak sampai mengistinbathkan sendiri hukum dari
dalil syar’i maupun dari nash imamnya.
f.
Mujahid
muwazzin, yaitu mujtahid yang tidak
mempunyai kemampuan untuk mentarjih di antara beberapa pendapat mazhab, tetapi hanya
sekadar membanding-bandingkan pendapat dalam mazhab kemudian beradil dengan apa
yang di anggapnya lebih tetap untuk di amalkan.
g.
Golongan
huffaz, golongan ini tidak melakukan
kegiatan ijtihad dalam pengertian istilah, tetapi mempunyai kemampuan untuk
menghafal dan mengingat hukum-hukum yang telah di tentukan imam mujtahid
terdahulu secara langsung dari nash atau apa yang di temukan oleh mujtahid
maazhab dengan mentakhrijkannya dari pendapat imam mazhab.
h.
Golongan
mukallid, golongan ini adalah kalangan umat
yang tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengertian
istilah, juga tidak mempunyai kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, ia
juga tidak memahami dalil-dali.
G.
Metode Ijtihad
Metode yang di maksud disini adalah
thariqah, yaitu jalan atau cara yang harus di lakukan oleh seorang mujtahid
dalam memahami,menemukan, merumuskan hukum syara’.
Langkah-langkah yang harus di tempuh
seorang mujtahid dalam istinbath hukum antara lain:
Ø Bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir,maka
mujtahid harus mencari penjelasannya dengan merujuk kepada Al-Quran.
Ø Jika tidak menemukan hukum dalam al-Quaran maka mujtahid merujuk
kepada hadis.
Ø Kumudian mujtahid mencari jawabannya dari kesepakatan ulama
sahabat.
Ø Bila tidak ada kesepakatan sahabat tentang hukum yang di carinya,
maka mujtahud menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan
menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam
formulasi hukum yang kemudian di sebut fiqh.
Kemudian
mengenai metode ijtihad,secara garis besar yaitu:
Ø Metode istihsan
Ø Metode maslahah mursalah
Ø Metode istishab
Ø Metode ‘urf
Ø Metode mazhab sahabi
Ø Metode syar’u man qablana
Ø Metode sabdu al-Zari’ah.
H.
Kebenaran Hasil Ijtihad
Bila seorang mujtahid melakukan
suatu ijtihad terhadap suatu masalah dalam lapangan ijtihad dan sampai pada
suatu kesimpulan berupa hukum, maka secara lahir dapat di katakana bahwa ia
telah menetap kan hukum syara’. Namun pada hakikatnya, mujtahid itu bukan
menetapkan hukum dan membuat hukum, karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam,
bahwa yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah swt, dan tiada hukum
kecuali dari Allah. Karena itu, dapat di katakan bahwa hukum yang dapat dicapai
oleh mujtahid itu adalah “ hukum Allah dalam lisan mujtahid”.[11]
I.
Pembatalan Ijtihad
a.
Apabila
seorang berijtihad untuk dirinya sendiri dan setelah hasilnya di amalkan
ketahuan salahnya, maka ia harus membatalkan ijtihadnya yang pertama dengan
yang kedua.
b.
Apabila
seorang berijtihad untuk kepentingan memberikan fatwa atau keputusan suatu
persengketaan dan kemudian ternyata apa yang telah di fatwakan atau di putuskan
itu bertentangan dengan suatu nash atau ijma’,maka ia wajib memberitahukan
kepada orang yang telah di beri fatwa atau membatalkan keputusan yang telah
diambilnya.[12]
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana ), hlm 237.
[2] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam,( Bandung : Alma’arif
), hlm 373.
[3] Amir Syarifuddun, Ushul…, hlm 238-240
[4] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm 240-243
[5] Firdaus, Ushul Fiqh, ( Jakarta Timur :
Zikrul Hakim), hlm 76-77.
[6] Amir
Syarifuddin, Ushul…, hlm 283-292
[7] Mukhtar Yahya,Ushul…, hlm 379-381
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (
Pustaka Firdaus : Jakarta ), hlm 568-575.
[9] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm 282.
[10] Muchtar Yahya…, Ushul…, hlm 383-384.
[11] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm 295-296.
No comments:
Post a Comment