Friday, February 20, 2015

HUKUM SYARA'

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah telah menciptakan manusia dimuka bumi ini, di samping itu Allah juga telah menurunkan syari’at atau hukum kepada manusia. Dengan tujuan manusia ini hidup tidak sia-sia dan tidak seenaknya, keran Allah telah membuat peraturan-peraturannya untuk umat manusia. Dan orang-orang yang mengikuti peraturan tersebut lah orang-orang yang beruntung karena dalam kehidupannya selalu memperhatikan norma-norma kehidupan yang telah diatur dalam syariat hukum Islam.
Hukum syara’ ini sangat berhubungan dengan aqidah, karena aqidah itu sendiri adalah keyakinan seseorang terhadap Penciptanya. Jadi dengan adanya aqidah dalam menjalankan hukum syara’ itu akan lebih sempurna, karena aqidah itu juga sebagai pengontrol tingkah seseorang. Di dalam makalah ini akan dibahas tentang hukum syara’ dan bagiannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?
2.      Apa-apa saja pembagian hukum syara’?
3.       Bagaimana hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat itu?

C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengrtian hukum syara’.
2.      Mengetahui pembagian hukum syara’.
3.      Mengetahui ketentuan-ketentuan hukum dalam hukum syara’.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’ adalah kata majemuk dari kata “huku” dan kata “syara’”. Kata hukum berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Sedangkan menurut istilah hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Kata syara’ secara etimologi berarti jalan, jalan yang bisa dilalui air. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Bila kata hukum dirangkai degan kata syara’ yaitu, hukum syara akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.[1]
B.     Pembagian hukum syara’
Secara garis besar para ulama ushul fiqih membagi hukum kepada 2 macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi. Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqih adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan rosulnya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan,larangan,anjuran untuk tidak melakukan,atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang seab, syarat’dan mani’(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).[2]


 I.            Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan  oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau mengandung pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan.
1)      Wajib dan Pembagiannya
a.      Pengertian wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminology didefinisikan oleh ahli ushul fiqh adalah :

Wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
Contohnya mengerjakan shalat hukumnya wajib bagi yang telah memenuhi syarat, maka jika telah memenuhi syarat tidak mengerjakan shalat,hokumnya berdosa.

b.            Pembagian wajib
a)      Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya,hukum wajib terbagi kepada dua macam.
a.          Wajib mutlaq. Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Artinya tidak salah bila waktu pelaksanaanya ditangguh sampai waktu yang ia sanggup melakukannya. Contoh, mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena uzur, ia wajib menggantinya kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b.      Wajib muaqqat. Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya dibatasi dengan waktu tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan.
b)      Bila dilihat dari segi pelaksana, kewajiban hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam yaitu:
1.      Wajib Aini. Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal(mukallaf), tanpa kecuali, dan dilaksanakan oleh masing-masing individu. contoh shalat  dan puasa.
2.      Wajib kifa’i(wajib kifayah). Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada seluruh mukallaf, namun bila telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Contohnya shalat jenazah.
c)      Bila dilihat dari segi kandungan perintah,hukum wajib dapat dibagi kepada 2 macam:
1.      Wajib muayyan. Yaitu subjek hokum baru dinyatakan telah menunaikan tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk melakukan yang lainnya. Contoh kewajiban membayar utang, kewajiban melaksanakan shalat.
2.      Wajib mukhayyar. Yaitu suatu kewajiban dimana yang mejadi obyeknya boleh dipilih antara beberapa alternative. Contoh pilihan diantara dua hal adalah pilihan diantara pembebasan tawanan dan uang tebusan. Dan contoh lain pilihan antara member makan 10 orang miskin atau member pakaian untuk 10 orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya sebagai kafarat karena pelanggaran sumpah.
d)     Bila dilihat dari segi kadar dituntut atau jumlah, wajib dibagi 2 macam:
1.      Wajib muhaddad. Yaitu suatu yang dinyatakan kewajibannya dengan kadar yang ditentukan. Artinya mukallaf belum terlepas kewajibannya sebelum melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Contoh kewajiban membayar zakat harta atau zakat fitrah, yang telah ditentukan kadar nya.
2.      Wajib ghairu muhaddad. Yaitu suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak ditentukan ukuran oleh syari’. Contohnya nafkah untuk kerabat.

2)      Mandub dan Pembagiannya
a.       Pengertian Mandub
Mandub menurut bahasa adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Adapun menurut istilah mandub adalah sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya secara hukum syar’i tanpa ada celaan terhadap orang yang meninggalkan secara muthlak. Adapun menurut sebagian ulama mandub adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang melaksanakannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.

b.      Pembagian Mandub
a)      Dilihat dari segi selalu atau tidaknya Nabi melakukan perbuatan sunnah, sunnah dibagi 2 macam:
1.      Sunah muakkadah. Yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh Nabi disamping ada keterangna yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukanlah suatu yang fardhu. Contoh, shalat witir , shalat fajar sebelum shalat subuh, dan lain-lain.
2.      Sunah ghairu muakkadah. Yaitu perbuatan yang perneh dilakukan oleh Nabi, tetapi Nabi tidak melazimkan dirinya berbuat demikian. Contoh, shalat sunah 4 rakaat sebelum zuhur dan ashar.
b)      Dilihat dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah dibagi 3 macam:
1.      Sunah hadyu. Yaitu suatu tuntutan yang kuat untuk mengerjakan suatu perbuatan. Contoh, berkumur-kumur pada pada waktu mengambil air wudhu.
2.      Sunah zaidah. Yaitu suatu tuntutan serba anjuran untuk mengerjakan suatu perbuatan. Contoh, bersedekah kepada fakir miskin.
3.      Sunah fadhilah. Yaitu suatu perbuatan yang dituntutnya sebagai penambah kesempurnaan amal perbuatan si mukallaf sendiri. Contoh, mengikuti cara-cara Nabi berpakaian, makan, dan minum.

3)      Haram dan Pembagiannya
a.       Pengertian haram
Haram secara bahasa adalah sesuatu yang lebih baik banyak kerusakannya. Menurut ahli ushul fiq adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan dikenai dosa dan ancaman orang yang memperbuatnya.
b.      Pembagian haram
1.      Haram lidzatih (karena sejak semula ditetapkan). Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh syara’ keharaman melakukannya sejak semula, dikarenakan ia mengandung kemudharatan. Contoh, berzina, minum khamar dan lain-lain.
2.      Haram li’aridhih (karena adanya sesuatu dari luar). Yaitu sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syara’ keharaman melakukannya pada mula pertama, akan tetapi kemudian ada sesuatu yang menyebabkan keharamannya. Contoh, jual beli dengan menipu.
4)      Makruh dan pembagiannya
a.       Pengertian makruh
Makruh secara bahasa adalah sesuatu yang tidak disenangi. Menurut ulama ushul makruh adalah sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.
b.      Pembagian makruh
1.      Makruh tanzih, adalah suatu perbuatan yang bila ditinggalkan lebih baik dari peda dikerjakan. Contoh, jual beli pada waktu azan jum’at.
2.      Makruh aula, adalah meninggalkan suatu yang sebenarnya perbuatan itu lebih baik dikerjakannya. Contoh, meninggalkan shalat zuha.
3.      Makruh tahrim, adalah suatu perbuatan yang dilarang, akan tetapi dalil yang melarangnya adalah dalil zhanni, bukan qath’i. contoh, makan daging ular.

5)      Mubah dan pembagiannya
a.       Pengertian mubah
Mubah adalah suatu perbuatan yang bila dilakukan, orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa.
b.      Pembagian mubah
1.      Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat, ini disebut mubah dalam bentuk bagian tetapi dituntut secara keseluruhan. Cotoh makan.
2.      Mubah yang mengikuti tuntutan untuk meninggalkan, ini disebut mubah juz’i, tetapi dilarang secara keseluruhan. Contoh, bermain.
3.      Mubah yang tidak mengikuti sesuatu.

II.            Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau sebagai mani.dengan demikian hukum wadh’i terbagi kepada bebrapa macam, yaitu:


1.      Sebab
Sebab adalah suatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya hukum. Artinya dengan adanya sebab terwujudlah hokum dan tidak ada sebab, tiadalah hukum. Contoh, menyaksikan bulan dijadikan sebab kewajiban berpuasa, dalam firman Allah:
`yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù (
…karena itu barang siapa diantara kamu menyaksikan bulan, maka hendaklah ia puasa pada bulan itu….(Al-Baqarah : 185)

2.      Syarat
Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak adanya, maka tidak ada masyrut. Syarat dibagi dua yaitu:
1)      Syarat syar’i. yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh syar’i untuk menyempurnakan urusan syariat. Contoh, adanya unsur sengaja dan permusuhan adalah dua syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya qisas.
2)      Syarat jail. Yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh orang yang mengadakan perikatan dan dijadikan tempat tergantung dan terwujudnya perikatan. Contoh, seorang pembeli membuat syarat bahwa dia mau membeli sesuatu barang dari penjual dengan syarat boleh mengangsur. Kalau syarat inij diterima oleh penjual, maka jual beli tersebut dapat dilaksanakan.

3.      Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang karena tidak adanya hukum atau membatalkan sebab hukum. Mani’ dibagi 2:
1)      Mani’ terhadap hukum. Contoh, perbedaan agama dalam mewariskan harta.
2)      Mani’ terhadap sebab hukum. Contoh, seseorang yang telah berkewajiban membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab, maka dia tidak wajib membayar zakat.

4.      Rukhshah (kemudahan) dan ‘Azimah (hukum asli)
Rukhshah adalah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah sebagai peringan terhadap hukum orang mukallaf dalam hal yang khusus. Sedangkan azimah adalah peraturan syara’ yang asli yang berlaku umum. Misalnya bangkai. Aslinya haram dimakan oleh semua orang mukallaf, tetapi dalam keadaan terpaksa, diperkenankan memakannya.
5.      Sah dan Bathil atau Fasid
Sah adalah perbuatan itu mempunyai akibat hukum. Dalam perbutan ibadah dianggap sah jika telah memadai dan melaksanakan tanggung jawab terhadap Allah. Sedangkan Bathil adalah suatu perbuatan yang tidak mempunyai akibat hukum. Istilah fasid menurut kalangan jumhur sama dengan bathal.
Adapun amal perbuatan yang berhubungan dengan muamalat di bagi 3,:
Ø  Suatu perikatan dikatakan sah apabila semua syarat dan rukunnya telah terpenuhi.
Ø  Suatu perikatan dikatakan bathil apabila terdapat cacat pada pokok perikatan.
Ø  Suatu perikatan dikatakan fasid apabila terdapat cacat pada salah satu sifat dari perikatan-perikatan itu.[3]

 BAB III
           PENUTUP
Kesimpulan
Ø  Hukum syara akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.
Ø  Hukum syara’ dibagi 2:
1.      Hukum taklifi. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan  oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau mengandung pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan. Hukum taklifi dibagi dalam 5 macam, yaitu:
a.       Wajib
b.      Mandub (sunah)
c.       Haram
d.      Makruh
e.       Mubah
2.      Hukum wadh’i. Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau sebagai mani.dengan demikian hukum wadh’i terbagi kepada beberapa macam, yaitu:
a.       Sebab
b.      Syarat
c.       Mani’
d.      Rukhshah (kemudahan) dan ‘Azimah (hukum asli)
e.       Sah dan bathil atau fasid.


DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,jilid 1, cet ke-4, Jakarta: Kencana, 2009.

Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasr Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Alma’arif.

Satria Effendi M.zein, Ushul Fiqih, Jakarta, Kencana, 2009.




[1]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,jilid 1, cet ke-4, (Jakarta: Kencana, 2009), hal 333.
[2]  Satria Effendi M.zein, Ushul Fiqih, ( Jakarta, Kencana, 2009),hal 41.
[3] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasr Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Alma’arif), hal 141-155.


DAMSALASKA  

No comments:

Post a Comment