BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah telah menciptakan manusia dimuka bumi ini, di samping itu
Allah juga telah menurunkan syari’at atau hukum kepada manusia. Dengan tujuan
manusia ini hidup tidak sia-sia dan tidak seenaknya, keran Allah telah membuat peraturan-peraturannya
untuk umat manusia. Dan orang-orang yang mengikuti peraturan tersebut lah
orang-orang yang beruntung karena dalam kehidupannya selalu memperhatikan
norma-norma kehidupan yang telah diatur dalam syariat hukum Islam.
Hukum syara’ ini sangat berhubungan dengan aqidah, karena aqidah
itu sendiri adalah keyakinan seseorang terhadap Penciptanya. Jadi dengan adanya
aqidah dalam menjalankan hukum syara’ itu akan lebih sempurna, karena aqidah
itu juga sebagai pengontrol tingkah seseorang. Di dalam makalah ini akan
dibahas tentang hukum syara’ dan bagiannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan hukum syara’?
2.
Apa-apa
saja pembagian hukum syara’?
3.
Bagaimana hukum-hukum yang ditetapkan dalam
syariat itu?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
pengrtian hukum syara’.
2.
Mengetahui
pembagian hukum syara’.
3.
Mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum dalam hukum syara’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’
adalah kata majemuk dari kata “huku” dan kata “syara’”. Kata hukum berasal dari
bahasa Arab yang secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan, dan
menyelesaikan. Sedangkan menurut istilah hukum adalah “seperangkat peraturan
tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau
kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Kata syara’
secara etimologi berarti jalan, jalan yang bisa dilalui air. Maksudnya adalah
jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Bila kata hukum dirangkai
degan kata syara’ yaitu, hukum syara akan berarti “seperangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.[1]
B.
Pembagian hukum
syara’
Secara garis besar para ulama ushul fiqih membagi
hukum kepada 2 macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi. Hukum
taklifi menurut para ahli ushul fiqih adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan rosulnya yang
berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan,larangan,anjuran untuk tidak melakukan,atau
dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang
dimaksud dengan hukum wadh’i ialah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
seab, syarat’dan mani’(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk
melakukan hukum taklifi).[2]
I.
Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk
dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk
ditinggalkannya atau mengandung pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan.
1)
Wajib dan
Pembagiannya
a.
Pengertian
wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau
pasti. Secara terminology didefinisikan oleh ahli ushul fiqh adalah :
Wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut
Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala
orang yang melakukannya karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak
yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan
dengan kehendak yang menuntut.
Contohnya mengerjakan shalat hukumnya wajib
bagi yang telah memenuhi syarat, maka jika telah memenuhi syarat tidak
mengerjakan shalat,hokumnya berdosa.
b.
Pembagian
wajib
a)
Bila dilihat dari waktu
pelaksanaanya,hukum wajib terbagi kepada dua macam.
a.
Wajib mutlaq. Yaitu kewajiban yang
pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Artinya tidak salah bila
waktu pelaksanaanya ditangguh sampai waktu yang ia sanggup melakukannya.
Contoh, mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena uzur, ia wajib
menggantinya kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b.
Wajib muaqqat. Yaitu kewajiban yang
pelaksanaanya dibatasi dengan waktu tertentu dan tidak sah dilakukan diluar
waktu yang telah ditentukan.
b)
Bila dilihat dari segi pelaksana, kewajiban
hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam yaitu:
1.
Wajib Aini. Yaitu kewajiban yang di
bebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal(mukallaf), tanpa
kecuali, dan dilaksanakan oleh masing-masing individu. contoh shalat dan puasa.
2.
Wajib kifa’i(wajib kifayah). Yaitu
kewajiban yang di bebankan kepada seluruh mukallaf, namun bila telah dilaksanakan
oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap sudah terpenuhi
sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan
mengerjakannya. Contohnya shalat jenazah.
c)
Bila dilihat dari segi kandungan
perintah,hukum wajib dapat dibagi kepada 2 macam:
1.
Wajib muayyan. Yaitu subjek hokum
baru dinyatakan telah menunaikan tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah
dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk melakukan yang lainnya. Contoh
kewajiban membayar utang, kewajiban melaksanakan shalat.
2.
Wajib mukhayyar. Yaitu suatu
kewajiban dimana yang mejadi obyeknya boleh dipilih antara beberapa
alternative. Contoh pilihan diantara dua hal adalah pilihan diantara pembebasan
tawanan dan uang tebusan. Dan contoh lain pilihan antara member makan 10 orang
miskin atau member pakaian untuk 10 orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya
sebagai kafarat karena pelanggaran sumpah.
d)
Bila dilihat dari segi kadar dituntut atau
jumlah, wajib dibagi 2 macam:
1.
Wajib muhaddad. Yaitu suatu yang dinyatakan
kewajibannya dengan kadar yang ditentukan. Artinya mukallaf belum terlepas
kewajibannya sebelum melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah
ditentukan. Contoh kewajiban membayar zakat harta atau zakat fitrah, yang telah
ditentukan kadar nya.
2.
Wajib ghairu muhaddad. Yaitu suatu kewajiban
yang pelaksanaannya tidak ditentukan ukuran oleh syari’. Contohnya nafkah untuk
kerabat.
2)
Mandub dan
Pembagiannya
a.
Pengertian Mandub
Mandub menurut
bahasa adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Adapun menurut istilah mandub
adalah sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya secara hukum syar’i tanpa ada
celaan terhadap orang yang meninggalkan secara muthlak. Adapun menurut sebagian
ulama mandub adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang melaksanakannya dan
tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
b.
Pembagian Mandub
a)
Dilihat dari segi selalu atau tidaknya Nabi
melakukan perbuatan sunnah, sunnah dibagi 2 macam:
1.
Sunah muakkadah. Yaitu perbuatan yang selalu
dilakukan oleh Nabi disamping ada keterangna yang menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut bukanlah suatu yang fardhu. Contoh, shalat witir , shalat fajar
sebelum shalat subuh, dan lain-lain.
2.
Sunah ghairu muakkadah. Yaitu perbuatan yang
perneh dilakukan oleh Nabi, tetapi Nabi tidak melazimkan dirinya berbuat
demikian. Contoh, shalat sunah 4 rakaat sebelum zuhur dan ashar.
b)
Dilihat dari segi kemungkinan meninggalkan
perbuatan, sunah dibagi 3 macam:
1.
Sunah hadyu. Yaitu suatu tuntutan yang kuat untuk
mengerjakan suatu perbuatan. Contoh, berkumur-kumur pada pada waktu mengambil
air wudhu.
2.
Sunah zaidah. Yaitu suatu tuntutan serba
anjuran untuk mengerjakan suatu perbuatan. Contoh, bersedekah kepada fakir
miskin.
3.
Sunah fadhilah. Yaitu suatu perbuatan yang
dituntutnya sebagai penambah kesempurnaan amal perbuatan si mukallaf sendiri.
Contoh, mengikuti cara-cara Nabi berpakaian, makan, dan minum.
3)
Haram dan Pembagiannya
a.
Pengertian
haram
Haram secara bahasa adalah sesuatu yang lebih baik banyak kerusakannya.
Menurut ahli ushul fiq adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang
meninggalkannya dan dikenai dosa dan ancaman orang yang memperbuatnya.
b.
Pembagian
haram
1.
Haram
lidzatih (karena sejak semula ditetapkan). Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan
oleh syara’ keharaman melakukannya sejak semula, dikarenakan ia mengandung
kemudharatan. Contoh, berzina, minum khamar dan lain-lain.
2.
Haram
li’aridhih (karena adanya sesuatu dari luar). Yaitu sesuatu yang tidak
ditetapkan oleh syara’ keharaman melakukannya pada mula pertama, akan tetapi
kemudian ada sesuatu yang menyebabkan keharamannya. Contoh, jual beli dengan
menipu.
4)
Makruh dan pembagiannya
a.
Pengertian
makruh
Makruh secara bahasa adalah sesuatu yang tidak disenangi. Menurut
ulama ushul makruh adalah sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk
ditinggalkan dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.
b.
Pembagian
makruh
1.
Makruh
tanzih, adalah suatu perbuatan yang bila ditinggalkan lebih baik dari peda
dikerjakan. Contoh, jual beli pada waktu azan jum’at.
2.
Makruh
aula, adalah meninggalkan suatu yang sebenarnya perbuatan itu lebih baik
dikerjakannya. Contoh, meninggalkan shalat zuha.
3.
Makruh
tahrim, adalah suatu perbuatan yang dilarang, akan tetapi dalil yang
melarangnya adalah dalil zhanni, bukan qath’i. contoh, makan daging ular.
5)
Mubah dan pembagiannya
a.
Pengertian
mubah
Mubah
adalah suatu perbuatan yang bila dilakukan, orang yang mengerjakan tidak
mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa.
b.
Pembagian
mubah
1.
Mubah
yang mengikuti suruhan untuk berbuat, ini disebut mubah dalam bentuk bagian
tetapi dituntut secara keseluruhan. Cotoh makan.
2.
Mubah
yang mengikuti tuntutan untuk meninggalkan, ini disebut mubah juz’i, tetapi
dilarang secara keseluruhan. Contoh, bermain.
3.
Mubah
yang tidak mengikuti sesuatu.
II.
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat
dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau sebagai mani.dengan
demikian hukum wadh’i terbagi kepada bebrapa macam, yaitu:
1.
Sebab
Sebab adalah suatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya hukum.
Artinya dengan adanya sebab terwujudlah hokum dan tidak ada sebab, tiadalah
hukum. Contoh, menyaksikan bulan dijadikan sebab kewajiban berpuasa, dalam
firman Allah:
… `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( …
…karena itu barang siapa diantara kamu
menyaksikan bulan, maka hendaklah ia puasa pada bulan itu….(Al-Baqarah : 185)
2.
Syarat
Syarat
adalah sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak adanya,
maka tidak ada masyrut. Syarat dibagi dua yaitu:
1)
Syarat
syar’i. yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh syar’i untuk menyempurnakan urusan
syariat. Contoh, adanya unsur sengaja dan permusuhan adalah dua syarat bagi
pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya qisas.
2)
Syarat
jail. Yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh orang yang mengadakan perikatan dan
dijadikan tempat tergantung dan terwujudnya perikatan. Contoh, seorang pembeli
membuat syarat bahwa dia mau membeli sesuatu barang dari penjual dengan syarat
boleh mengangsur. Kalau syarat inij diterima oleh penjual, maka jual beli
tersebut dapat dilaksanakan.
3.
Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang karena tidak adanya hukum atau
membatalkan sebab hukum. Mani’ dibagi 2:
1)
Mani’
terhadap hukum. Contoh, perbedaan agama dalam mewariskan harta.
2)
Mani’
terhadap sebab hukum. Contoh, seseorang yang telah berkewajiban membayar zakat,
akan tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab, maka dia tidak
wajib membayar zakat.
4.
Rukhshah (kemudahan) dan ‘Azimah (hukum asli)
Rukhshah adalah
ketentuan yang disyariatkan oleh Allah sebagai peringan terhadap hukum orang
mukallaf dalam hal yang khusus. Sedangkan azimah adalah peraturan syara’ yang
asli yang berlaku umum. Misalnya bangkai. Aslinya haram dimakan oleh semua
orang mukallaf, tetapi dalam keadaan terpaksa, diperkenankan memakannya.
5.
Sah dan Bathil atau Fasid
Sah adalah
perbuatan itu mempunyai akibat hukum. Dalam perbutan ibadah dianggap sah jika
telah memadai dan melaksanakan tanggung jawab terhadap Allah. Sedangkan Bathil
adalah suatu perbuatan yang tidak mempunyai akibat hukum. Istilah fasid menurut
kalangan jumhur sama dengan bathal.
Adapun amal
perbuatan yang berhubungan dengan muamalat di bagi 3,:
Ø Suatu perikatan dikatakan sah apabila semua syarat dan rukunnya
telah terpenuhi.
Ø Suatu perikatan dikatakan bathil apabila terdapat cacat pada pokok
perikatan.
Ø Suatu perikatan dikatakan fasid apabila terdapat cacat pada salah
satu sifat dari perikatan-perikatan itu.[3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Hukum syara
akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah
laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam”.
Ø Hukum syara’
dibagi 2:
1. Hukum taklifi. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk
dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk
ditinggalkannya atau mengandung pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan.
Hukum taklifi dibagi dalam 5 macam, yaitu:
a. Wajib
b. Mandub (sunah)
c. Haram
d. Makruh
e. Mubah
2.
Hukum
wadh’i. Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam
bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau sebagai mani.dengan
demikian hukum wadh’i terbagi kepada beberapa macam, yaitu:
a.
Sebab
b.
Syarat
c.
Mani’
d.
Rukhshah
(kemudahan) dan ‘Azimah (hukum asli)
e.
Sah
dan bathil atau fasid.
DAFTAR PUSTAKA
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh,jilid 1, cet ke-4, Jakarta: Kencana, 2009.
Mukhtar
Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasr Pembinaan Hukum Islam, Bandung:
Alma’arif.
Satria Effendi
M.zein, Ushul Fiqih, Jakarta, Kencana, 2009.
No comments:
Post a Comment